(by: Regine Anciella S. P.)
Namaku Indonesia, aku lahir tanggal 17 Agustus 1945. Pancasila adalah dasar hidupku dan UUD 1945 adalah pedomanku. Hal yang paling mendukung kemakmuranku adalah ditegakkannya Hak Asasi Manusia (HAM yang dimuat dalam UUD 1945 pasal 28). Sebagai satu kesatuan, bagian tubuh hendaknya saling bekerja sama. Misalnya saja mata harus dibantu oleh otak agar dapat mengenali benda yang dilihatnya. Namun Ironi dalam tubuhku ini, satu sama lain (lembaga pemerintah) tak lagi bekerja sama, saling menjatuhkan dan berebut menuju kasta tertinggi. Sakit rasanya ketika mata, tangan, kaki dan semua anggota tubuhku saling menjatuhkan. Bayangkan saja tubuh ini saling menyakiti, Betapa hebatnya penderitaan yang aku alami?
Aku bagaikan kakek tua yang sedang melihat senja dan memikirkan, " Apakah selama 72 tahun ini aku benar-benar merdeka? " Inilah misteri kehidupanku. Banyak orang luar (Negara asing) berkata bahwa aku telah merdeka sebagai bangsa yang besar, namun aku merasakan sebaliknya. Kesesakan dalam dadaku senantiasa ku kubur dalam-dalam agar tak ada yang tahu. Semua seakaan tak peduli pada diriku yang telah menua dan tak sanggup lagi berbuat banyak. Keegoisan menggerogoti ragaku, ketamakan dan kebutaan akan harta menyelimuti jiwaku dan kelicikan memenuhi pikiranku. Bagaimana ini dapat terjadi dalam tubuhku yang renta ini? Aku semakin kurus ditengah lemak-lemak tubuhku yang semakin menumpuk. Aku dibutakan akan harta dan tahta sampai semua dikorbankan. Dasar dalam kehidupanku hanya menjadi kedok belaka yang membantuku naik tahta.
Inilah kisah dalam tubuhku. Nuraniku tak lagi berjalan dan sulit untuk mengambil keputusan yang benar. Kuadili semua orang dengan seenaknya dan kuharapkan harta sebagai imbalan. Banyak yang menjadi korban karena ketamakanku ini. Suatu ketika, kuadili tangan (seorang anggota DPR). Aku tergiur akan emas dan berlian yang dikenakannya, sehingga kuupayakan hukuman teringan untuknya. Ia mendapatkan hartanya dengan memeras (KKN) jari-jari kecilnya (rakyat). Lemak-lemak segar mengalir kedalam pembuluhnya dan menumpuk di dalam celah-celah kulitnya. Di sisi lain aku pun pernah mengadili jari (Nenek Minah) yang mencuri singkong milik tetangga demi menyambung hidup. Kuadili dirinya dengan putusan yang bagiku tak adil (dipenjara 2,5 tahun). Penjara tangan dan jari bagaikan langit dan bumi, yang satu beralas lantai dan lainnya beralaskan kasur nan empuk. Tak habis-habisnya kurenungkan kesalahanku. Air mata menetes mengiringi memori yang membayangi kalbu. Ketika Dasar kehidupanku tak lagi berlaku, dan rasa kemanusiaan seakan lenyap tak bersisa.
Ketika otak cerdas (pemimpin seperti Ahok) berupaya untuk menjernihkan hati dan memperbaiki tubuhku ini, tak ada yang mendukung. Anggota tubuhku seakan memberontak dan meronta-ronta disaat keadilan dan HAM ingin ditegakkan. Bahkan saat ia ingin menunjukkan kebenaran, semua anggota tubuh berupaya membunuhnya dan memenjarakannya di dalam jeruji besi. Tak ada dukungan bagi otak-otak pembaharu dunia. Semua tertidur dan hanyut dalam melodi ketamakan. Apalagi yang harus dipertahankan dari diriku ini?
Inilah saatnya kita sebagai generasi muda untuk melakukan perubahan. Hapuskan tembok-tembok pembatas kita, dan persatukan negara kita dalam semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Kita tak boleh terlelap dan terbuai dalam angan-angan dan janji belaka. Gunakan kebebasan dan hak kita sebagai rakyat Indonesia dan tegakkan demokrasi serta keadilan dalam tubuh kita.
picture by : (https://andipeace.wordpress.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H