Siapa yang tidak tergiur dengan program magang saat masih berstatus mahasiswa. Hingga membuat mahasiswa berbondong-bondong mengikuti program magang diberbagai kesempatan yang disediakan.
Seperti contoh program magang yang ditawarkan Kemendikbudristek dalam laman MSIB yaitu program MBKM dan program magang mandiri, kemudian program magang mandiri di luar MSIB yang ditawarkan oleh masing-masing mitra di setiap tahunnya, maupun program magang luar negeri.
Alasan mahasiswa tergiur dengan program magang selain belajar dan dapat menambah bekal untuk persiapan kerja di masa yang akan datang, mendapat 20 SKS lewat program magang, mereka juga kadang tertarik dengan bayaran yang ditawarkan termasuk dengan sesi berlibur sambil bekerja yang akan mereka dapatkan.
Alih-alih dapat belajar, terpenuhi 20 SKS, mendapat bayaran tinggi, dan jalan-jalan, sejumlah 1.047 mahasiswa justru bernasib nahas karena diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Jerman dengan framming magang “working and holiday”.
Program magang tersebut bernama ferienjob. Ferienjob adalah program kerja di sela-sela liburan semester mahasiswa untuk mengisi kekurangan tenaga kerja fisik diberbagai perusahaan yang ada di Jerman.
Program tersebut melakukan sosialisasi ke berbagai kampus dengan framing yang cukup menggiurkan dan menjanjikan. Hingga membuat mahasiswa maupun pihak kampus merasa terpercaya dan ikut andil dalam pelaksanaannya. Bahkan di beberapa kampus, pihak kampus lah yang menarik dan menuntut mahasiswa untuk mengikuti program tersebut.
Dengan berbagai iming-iming yang ditawarkan, mereka ternyata harus pula membayar biaya awal, visa, juga biaya talangan sebesar Rp150 ribu, 200 euro, dan Rp30-50 juta. Dengan dana awal sebesar ini seharusnya mereka sudah patut curiga dengan program ferienjob tersebut, namun nyatanya mereka tetap percaya untuk mengikuti program ini dikarenakan iming-iming semua dana yang sudah mereka keluarkan akan dapat tercover dengan biaya hasil kerja mereka di sana nanti.
Tidak hanya itu, mereka juga mendapatkan MOU kembali saat mereka sudah tiba di Jerman pada waktu malam hari dalam bentuk teks dengan peggunaan bahasa Jerman, bukan dalam penggunaan bahasa indonesia ataupun inggris. Tentunya membuat mereka kesulitan untuk mengerti isi dari teks tersebut.
Selain waktu pemberian MOU yang tidak wajar, tidak diberikannya waktu untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia pun seharusnya sudah membuat para korban merasa aneh, terlebih pertanda-tanganan MOU tersebut terkesan terburu-terburu dan mengintimidatif. Namun lagi-lagi mereka tetap percaya kepada pihak terkait dengan menandatangani tanpa tahu apa isi dari MOU yang diberikan tersebut.
Kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi seakan tidak ada habisnya. Contoh lainnya para mahasiswa tersebut masih harus menunggu tanpa kejelasan hingga 5-7 hari dari waktu mereka tiba di Jerman untuk dapat melaksanakan kegiatan magang nya. Padahal biasanya program magang dapat langsung dilaksanakan sehari sampai tiga hari dari hari mereka tiba.
Setelah penantian yang cukup lama tersebut, realita yang mereka dapatkan benar-benar menampar ekspektasi mereka terhadap pekerjaan tersebut.