Lihat ke Halaman Asli

Suku Asmat, Kejadian Luar Biasa, dan Benturan Budaya

Diperbarui: 13 Februari 2018   01:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : tanahnusantara.com

Ditengarai sejak September 2017, kasus gizi buruk dan campak yang terjadi di Kabupaten Asmat, Papua tergolong Kejadian Luar Biasa (KLB). Menteri Sosial Idrus Marham mengungkapkan bahwa penyebab KLB di Kabupaten Asmat, Papua sangat beragam. Diantaranya adalah ketidakinginan masyarakat setempat untuk melakukan imunisasi dan/atau vaksin, serta cara hidup mereka yang rentan terkena penyakit. Lantas apakah dua hal tersebut benar merepresentasikan penyebab KLB di Asmat? Mari kita telisik lagi bersama.

Suku Asmat, seperti yang kita tahu, adalah salah satu suku tertinggal di Indonesia yang hidup dengan kondisi wilayah yang terisolasi. Suku Asmat memiliki satu kepala suku yang pemilihannya dilakukan secara demokrasi oleh masyarakatnya. Populasi suku asmat sendiri terbagi menjadi dua, yakni Suku Asmat yang tinggal di pesisir dan Suku Asmat yang tinggal di pedalaman.

Dalam kasus ini, Suku Asmat yang tergolong KLB adalah suku asmat yang tinggal di pedalaman. Suku Asmat pedalaman sangat mengandalkan alam sekitar. Banyak dari mereka pergi berburu, bertani, atau mencari sagu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perilaku-perilaku kehidupan Suku Asmat tersebut telah membudaya dan seiring berkembangnya zaman, terjadilah kegiatan intervensi budaya yang dengan gencar terus dilakukan oleh pihak luar yang menyebut dirinya "modern" tanpa mengkaji lebih dalam dampak yang mungkin akan terjadi pada kehidupan mereka.

Mengintervensi budaya dan cara hidup mereka dengan sesuatu yang disebut "modern" tanpa melakukan pendekatan sosial secara matang bukanlah suatu hal yang bijak karena budaya modern hanya dapat tercipta melalui proses adaptasi antara tradisi dan pendidikan. Pernyataan menteri sosial yang mengatakan bahwa cara hidup mereka rentan terkena penyakit adalah keliru. Dapat dibuktikan bahwa dengan cara hidup yang demikian, Suku Asmat mampu bertahan hingga abad ini. Sebelum adanya intervensi dari luar, mereka hidup dengan tentram, aman, dan tanpa penyakit. Pun halnya memang sakit, sudah pasti tenaga medis adat setempat mampu menanganinya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bukan cara hidupnya yang salah, melainkan sesuatu telah "ikut campur" dalam kehidupannya.

Cita-cita untuk turut memajukan kehidupan saudara sebangsa memang mulia. Namun disisipkannya budaya baru justru akan membinasakan mereka yang tidak dapat beradaptasi dengan benar. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya benturan budaya yang kini tengah dirasakan oleh masyarakat Suku Asmat. Loncatan pembangunan infrastruktur, masuknya produk-produk "modern", penanganan kesehatan seperti suntik vaksin dan imunisasi, kesemuanya merupakan hal yang baru bagi mereka. \

Mereka yang semula dapat hidup hanya dengan memakan sagu dan umbi-umbian, kini bergantung pada raskin (beras miskin) yang kerap kali didistribusikan kesana. Mereka yang semula menghindari nyamuk hanya dengan mengoleskan minyak babi, kini bergantung pada lotion anti nyamuk yang juga kerap kali didistribusikan kesana. Lantas ketika supply produk modern tersebut terhambat dan mereka sudah terlanjur ketergantungan, yang terjadi adalah mereka tidak dapat kembali pada cara hidup mereka semula dan akhirnya mengalami gangguan-gangguan kesehatan seperti yang terjadi saat ini.

Dalam wawancaranya, Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar menyebutkan bahwa penyebab terjadinya gizi buruk di Asmat diantaranya adalah akses yang jauh, kurangnya persediaan obat, dan kurangnya tenaga medis. Namun apabila benang merah yang tersedia ditarik lagi ke belakang, alih-alih gizi buruk, sebatas kekurangan gizi pun tidak akan terjadi. Mereka hidup dengan alam, gizi-gizi hewani berdatangan dengan sendirinya di sekitar clustermereka. Sementara yang terjadi saat ini adalah akses yang sulit dikatakan sebagai penyebabnya. 

Padahal, pembangunan infrastruktur seperti akses jalan yang besar di hutan-hutan yang lebat dan dalam waktu yang cepat selain berakibat pada surutnya sumber gizi hewani karena lalu lintas hewan yang terhambat, juga berakibat pada mudahnya penyebaran penyakit dari satu cluster ke cluster yang lain akibat terbuka lebarnya akses penularan virus. Virus yang sebelumnya bersifat endemik dalam satu daerah kemudian berkembang menjadi epidemik yang turut menular ke daerah lain. Kemudian kurangnya tenaga medis dijadikan penyebab timbulnya penyakit yang lagi-lagi akibat dari akses yang sulit. Padahal masyarakat Suku Asmat sendiri memiliki tenaga medis adat setempat yang apabila diberi pendidikan kesehatan secara benar akan dapat membantu meringankan tugas tenaga medis "modern" dan sekaligus menjadi upaya memajukan masyarakat Suku Asmat.

Hal tersebut menjadi kritik terhadap nawacita ke-3 Jokowi-JK yakni membangun Indonesia dari pinggiran. Nampaknya definisi dari kata pembangunan dalam nawacita tersebut perlu diperluas sesuai dengan kebutuhan wilayah, dalam hal ini Kabupaten Asmat, Papua. Dapat kita telisik lebih jauh bahwasanya bukan pembangunan infrastruktur yang harus diprioritaskan di Papua khususnya Asmat saat ini, melainkan pembangunan pendidikan.

 Tak dapat dipungkiri bahwasanya pendidikan adalah satu hal yang terlewat dan menjadi missing partdalam kasus KLB di Asmat yang nampaknya tidak disadari oleh banyak orang. Hal yang sangat krusial dalam mensejajarkan standar pemahaman kesehatan tidak lain dan tidak bukan adalah pendidikan dan kesehatan harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Pemberian tenaga kesehatan tanpa diimbangi dengan pendidikan kesehatan adalah dua hal yang kontradiktif apabila diterapkan pada suku-suku pedalaman, termasuk Suku Asmat. 

Pendidikan kesehatan dapat dimulai dari hal-hal kecil seperti cara hidup sehat, cara memilih dan memasak makanan, dan lain sebagainya. Ditambah lagi sebagian dari masyarakatnya masih menerapkan pola hidup nomaden sehingga akan lebih mengutamakan tenaga kesehatan adat setempat yang hingga kini masih belum terkaji dengan benar local knowledgedan local wisdom-nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline