Sesuai dengan namanya, Laut China Selatan merupakan perairan yang berada di bagian selatan China. Meskipun begitu, laut ini bukan berarti milik China, karena Laut China Selatan berbatasan langsung dengan Taiwan dan banyak negara di Asia Tenggara.
Hal inilah yang membuat Laut China Selatan menjadi sangat strategis sebagai industri logistik atau jalur transportasi yang memuat perdagangan global, serta memiliki berbagai sumber daya alam mencakup cadangan gas, minyak bumi, dan ribuan jenis perikanan maupun terumbu karang.
Nilai total perdagangan yang melintasi wilayah Laut China Selatan sendiri mencapai US$3,37 triliun pada tahun 2016, termasuk 40% dari perdagangan gas alam cair (LNG) global. Serta memiliki rata-rata hampir dari 4 triliun US dolar setiap tahunnya yang setara dengan seperempat hasil pendapatan perdagangan dunia.
Awal mula konflik
Bermula pada 1953, Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) muncul pertama kali di atlas yang diproduksi di daratan China. Karena dalam hal ini United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang sudah disepakati dunia, dimana negara di seluruh dunia mempunyai hak memiliki batas perairan mereka hanya sepanjang 200 mil dari garis dasar pantai.
Tentu saja, Nine-Dash Line dianggap bertentangan dengan hukum laut internasional. Karena klaim sepihak ini, China berdasarkan beranggapan masih memiliki kepemilikan sampai 900 mil Laut China Selatan dari garis pantainya (mencakup hampir 90 persen Laut China Selatan). Hal ini tentu saja membuat seluruh hak garis pantai di seluruh negara yang berbatasan langsung menjadi "tumpang-tindih" tak beraturan.
Baru-baru ini, Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin, pada tanggal 30 Agustus 2023 menerbitkan peta terbaru "kembali" dengan memberi cap resmi pada 10-Dash Line Tiongkok, yang merupakan peningkatan dari 9-Dash Line yang lama.
Jadi, bagaimana the Ten Dash Line ini dapat menjadi ancaman bagi Indonesia?
Jika melihat pada peta yang baru diedarkan oleh China yang memuat Ten Dash Line (Sepuluh garis putus-putus), garis tersebut secara langsung bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau.
Sehingga berdasar pada klaim historis itu kapal-kapal nelayan dan kapal patroli China kerap beroperasi dan beraktivitas di wilayah ZEE Indonesia. Sesuatu yang menurut hukum laut internasional hanya diperbolehkan hanya jika mendapat izin dari negara pemilik ZEE.
Ancaman pada Laut Natuna Utara