Lihat ke Halaman Asli

Korupsi dan Kebudayaan Indonesia (Bagian 3)

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Metodology Praktis: Sebuah Saran

Dalam memfungsikan UU No.22 dan 25 ini terhadap pemberantasan korupsi dan peningkatan pendapatan di daerah kita memerlukan suatu metode kerja yang sistimatis dan saling mengontrol serta melibatkan semua pihak termasuk seluruh lapisan masyarakat. Hal yang terpenting adalah peran pers serta media massa dan peran super aktif dari masyarakat pemakai jasa pelayanan pemerintah dan swasta untuk turut serta dalam upaya pemberantasan korupsi dengan menyebarluaskan hasil hasilnya yang dilakukan secara terus menerus, terbuka dan jujur. Berikut ini adalah suatu saran tentang metodologi pendekatan praktis dalam memanfaatkan otonomi daerah untuk memerangi korupsi.

1. Mengidentifikasi serta membuat inventarisasi kegiatan kegiatan yang paling birokratis, seperti yang melibatkan pembayaran retribusi, masalah pengurusan hak (hak milik seperti tanah, hak warga negara seperti mendapatkan perijinan seperti IMB, paspor, Visa, SIM, usaha, membeli dan membooking ticket pesawat, kapal, ataupun kereta api, dll), masalah pengurusan kewajiban (penerimaan calon pegawai negeri sipil-PNS, ABRI dan POLRI, pembayaran pajak), masalah pelanggaran undang undang dan hukum (pelanggaran lalu lintas atau TILANG, pengurusan keputusan pengadilan, dll), masalah dibidang perekonomian dan keuangan (permohonan untuk mendapatkan kredit dari bank). Menurut hasil penelitian, kegiatan kegiatan diatas adalah sumber utama praktek praktek KKN terutama korupsi di Indonesia. Sebagai contohnya, jika seseorang hendak memperpajang visa ijin tinggal bagi seorang warga negara asing di Kantor imigrasi, maka dia harus menyiapkan biaya tambahan sekurang kurangnya sebesar biaya resmi perpanjang visa tinggal yang diatur oleh keputusan presiden RI. Ironisnya lagi, permintaan biaya tambahan ini diminta langsung oleh petugas imigrasi. Belum lagi pengurusan perpanjangan Visa yang berbelit belit serta melewati banyak meja. Perpanjangan ini wajib dilakukan setiap tahun.

2. Membuat action plan atau rencana kegiatan untuk mengefisienkan kegiatan kegiatan birokratis yang telah berhasil diidentifikasi dengan jalan memangkas jalur birokrasi yang ada. Cara yang paling mudah adalah mengurangi jumlah loket atau meja yang harus dihadapi menjadi satu. Kita ambil lagi contoh perpanjangan visa diatas. Sekurang kurangnya ada 4 meja yang harus dilewati termasuk pengambilan sidik jari. Sidik jari pertama kali diambil pada saat pengurusan ijin tinggal menetap pertama kali, tetapi anehnya pada saat perpanjangan Visa yang harus dilakukan setiap tahun sekali, sidik jari diambil lagi, dan ini terjadi lagi pada saat visa diperpanjang untuk yang kesekian kalinya. Kegiatan ini jelas menambah meja yang harus dilewati, belum lagi waktu dari petugas serta material yang digunakan seperti kertas, tinta, listrik, dll yang semuanya pada akhirnya meningkatkan biaya operasional yang harus dibayar oleh negara atau daerah.

Dinegara negara lain seperti di Eropa, Amerika, Singapura,dll., sidik jari hanya diambil sekali saja yaitu pada saat pertama kali pengurusan visa tinggal dan semuanya dilakukan hanya pada satu loket atau meja saja.

3. Membuat mekanisme pengontrolan pelaksanaan action plan, serta mekanisme menampung, menyalurkan dan menyikapi keluhan masyarakat terhadap pelayanan masyarakat. Mekanisme yang dimaksud adalah salah satunya seperti yang telah disebutkan diatas yaitu pembentukan Komisi Anti KKN yang independen dan di takuti oleh pelaku KKN.

4. Melibatkan masyarakat dan pers. Kunci keberhasilan upaya untuk memerangi KKN adalan peran super aktif dari masyarakat dalam mengidentifikasi dan melaporkan kegiatan kegiatan bernuansa KKN dan keikut sertaan pers dan media massanya untuk menjerat pelaku KKN yang hasilnya kemudian dilaporkan ke Komisi Anti KKN. Hasil hasil ini lantas disebarluaskan secara eksplisit kepada khalayak ramai. Tentu saja dalam pelaksanaanya, asas praduga tak bersalah harus selalu dipakai dalam setiap upaya penjeratan aktor aktor KKN.

Prof Ahmad Ali mempertanyakan bagaimana kita bisa membersihkan sesuatu yang kotor dengan sapu yang kotor? Bila dalam situasi Indonesia sekarang ini memang sulit sekali dan bahkan hampir tidak mungkin bisa mendapatkan sapu yang bersih (Pessimists and Skeptics approach), maka untuk membersihkan yang kotor tadi, masyarakat dan Pers dapat menjalankan fungsi sebagai a powerful vacuum cleaner dan Komisi Anti KKN sebagai a mighty operator serta DPR atau DPRD sebagai power source. (Optimists approach)

5. Mengumumkan besarnya gaji yang diterima pegawai pemerintahan dengan terlebih dahulu menghitung semua materi (gaji dalam bentuk uang, ransum, pembagian bahan pokok sehari hari,dll) maupun fasilitas gratis yang diterima oleh seorang pegawai pemerintahan (seperti rumah dinas, kendaraan dinas berikut bahan bakar dinas, kesehatan, asuransi, pembebasan bea dan pajak tertentu, baju seragam, dll), serta yang terpenting adalah pensiun yang akan diterimanya. Semuanya kemudian ditotal dan di nominalkan besaran perbulannya serta diumumkan kepada masyarakat luas. Kita sebaiknya tidak usah kaget jika ternyata penghasilan murni bulanan (diluar penghasilan tambahan seperti uang jalan, komisi, kemudahan mendapatkan kredit dari bank, dll) seorang pegawai negeri kita itu ternyata lebih kurang sama dan bahkan lebih besar dari pendapatan rata rata seorang pegawai diperusahaan swasta nasional. Ini harus dilakukan untuk membuka mata para pegawai negara yang selalu mengeluhkan besarnya jumlah Rupiah yang diterimanya setiap bulan yang dikatakannya kecil sehingga selalu dijadikan alasan pribadi untuk menghalalkan kegiatan korupsinya dan memeras rakyat yang WAJIB dilayaninya dengan menggunakan kedudukannya.

6. Atau, melegitimasi atau mensyahkan kegiatan korupsi yang berlaku di suatu daerah otonom sebagai imbalan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat! Bedanya adalah, hasil KKN yang telah dilegitimasi, semuanya dimasukkan kedalam kas daerah dengan demikian salah satu misi pembangunan negara Indonesia dalam memberdayakan masyarakat Indonesia dapat tercapai. Kita ambil kembali contoh Kanim diatas. Kita semua mengetahui bahwa setiap pemohon paspor sudah dapat hampir dipastikan mampu membeli tiket pesawat keluar negeri. Indikasi ini menunjukkan bahwa warga masyarakat yang memohon paspor adalah masyarakat yang mampu untuk membayar tujuannya untuk keluar negeri termasuk membayar untuk memperoleh paspor dan tiket pesawatnya. Pihak Pemda dapat mengambil keuntungan dari kemampuan sumber daya masyarakat pada golongan ini untuk kemudian menetapkan tarif resmi yang lebih tinggi. Kelebihan dari tarif resmi ini dimasukkan kedalam kas daerah dan dipertanggung jawabkan ke DPRD. Ini dapat dilakukan asalkan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat juga kualitanya lebih tinggi dan dijamin bebas dari keluhan, dalam pengertian cepat, transparan dan efisien. Serta yang terpenting adalah bebas dari KKN.

7. Dan bila perlu, menerapkan hukuman mati bagi pelaku KKN yang telah terbukti di pengadilan melakukan kegiatan KKN yang merugikan negara dan merusak mental bangsa. Hukuman mati ini, jika tidak bisa diterapkan secara nasional dapat diterapkan secara regional. Misalnya, di Jakarta. Kalau hal ini bisa dilaksanakan, maka Jakarta akan menjadi tempat yang di takuti oleh pelaku KKN. Apakah hal ini bisa? Kalau Aceh bisa mendapatkan status istimewa untuk kemudian menerapkan sebagian dari aturan hukumnya sendiri, mengapa Jakarta atau daerah otonom lainnya tidak?

Akhirnya, bila kita ibaratkan upaya untuk memerangi KKN sebagai sebuah komputer yang memerlukan infrastruktur untuk bisa beroperasi dengan baik, maka Undang undang No.22 tentang otonomi daerah adalah perangkat keras (hardware) sedangkan Peraturan daerah (Perda) adalah perangkat lunak (Software). Sementara operating system-nya adalah Renstra dan Propeda. Bila infrastruktur ini dipunyai dan difungsikan oleh suatu daerah otonom, maka upaya memerangi KKN di daerah otonom dapat berjalan dengan baik dan efektif asalkan user-nya (warga masyarakat beserta Pemdanya) mampu mengoperasikannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline