Surya sore mulai turun meringkuk sembunyi ke balik bumi bagian Barat. BlackBarry Kim Foeng berdering,
“Tet..tot..tet..tot..tet..tot”.
Ada panggilan masuk. Ternyata dari Kemal. Kekasih hatinya. Peneliti yang sedang melakukan riset di Desa Rangkat. Terutama soal “kearifal lokal” yang masih terjaga dengan baik di desa itu.
“Kita ketemuan malam ini, ya. Seperti biasa, di surau dekat sungai Rangkat. Jam tujuh aku akan tunggu di sana,” ujar Kemal.
“Baik, Mas,” jawab Kim dengan singkat.
Perasaan Kim tidak karuan. Girang. Harap-harap cemas. Semuanya bercampur baur. Sebab hari ini adalah hari ulang tahunnya.
“Apakah ada kejutan untukku? Rasanya iya,” gumamnya dalam hati.
Kim menghampiri Kemal yang sudah menunggu di surau. Lalu duduk di sampingnya.
“Sudah lama menunggu?’, tanya Kim dengan senyum semringah.
“Tidak juga. Baru sepuluh menitan yang lalu,” jawab Kemal dengan lirikan menggoda.
Kemal berdiri. Lalu, ditariknya tangan Kim agar ikut berdiri. Sekarang dua sejoli itu berdiri berhadap-hadapan. Kemal menatap tajam mata Kim.
Kemal merogoh saku celananya. Mengambil sebuah kota hitam kecil yang dibalut pita warna merah.
‘Silahkan buka,” sahut Kemal sambil menyerahkan kotak itu.
“Baik, Mas,” jawab Kim yang sangat yakin kalau kota itu berisi cincin atau kalung.
“Huuaaaaaaa……Kecoaaaaaa…….”
Kim menjerit histeris. Lalu pingsan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H