Lihat ke Halaman Asli

Kritik Drama Teater Monolog "Merdeka" Putu Wijaya

Diperbarui: 28 Mei 2022   02:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Drama adalah karya sastra yang menggambarkan kehidupan manusia dengan gerak, menggambarkan realita kehidupan watak,dan tingkah laku manusia melalui peran dan dialog yang dipentaskan.

Drama ini menceritakan sebuah kemerdekaan karya putu wijaya. apakah kemerdekaan adalah sebuah kemenangan dan kebahagian? namun mengapa sampai saat ini masih ada derita? seseorang lelaki yang sudah berkeluarga yang masih memikirkan apa arti kemerdekaan. dan anaknyan bernama ami yang memikirkan kondisi rakyat yang selalu menjdi korban akibat ulah wakil rakyat. ibunya yang selalu menengahi pemikiran mereka. dismping itu peringatan hari kemerdekaan yang ditandai bukan dengan berkibarnya sang saka. tetapi, bendera warna-warni, bendera partai yang tamkpak lebih seru. apakag kita sudah merdeka?

Kemerdekaan hanya bisa datang pada orang yang bisa menghargai dan mengerti kemerdekaan yang sebenarnya. Itulah salah satu pesan singkat yang bisa ditafsirkan dari monolog milik sastrawan ternama, Putu Wijaya. Putu Wijaya dengan sangat cakap memberikan gambaran apa arti kemerdekaan yang sebenarnya melalui sebuah monolog. Putu Wijaya tidak banyak berbicara tentang esensi kemerdekaan itu sendiri, melainkan lebih berpusat pada apa kemerdekaan dan bagaimana kemerdekaan yang harus ada dalam diri tiap orang. Banyak yang beranggapan bahwa merdeka itu bebas, adapula yang berpendapat bahwa kemerdekaan itu menggemberikan, bahkan adapula yang berkata bahwa kemerdekaan itu menyiksa karena lebih nyaman dengan keadaan seperti sekarang. Semua itu simpang siur dan akhirnya dirangkum oleh Putu Wijaya melalui kisah menarik dan penuh kritik dari monolog berjudul "Kemerdekaan".

Monolog ini berkisah tentang seorang juragan tua yang memiliki 250 juta burung perkutut yang disimpannya di dalam sangkar. Pada suatu hari ia memberikan hadiah kepada burung perkutut yang paling setia menghiburnya dengan memberinya kemerdekaan untuk lepas dari sangkar dan menikmati kebebasan. Namun, sang burung malah ketakutan karena hidupnya pasti berubah, dan dia tidak suka dengan itu. Hidupnya yang sekarang baginya malah lebih nikmat karena segala sesuatu telah siap, tidak ada bahaya yang menganggu, semuanya nyaman baginya. Sang juragan tua pun marah karena ketololan dari burung perkututnya karena tidak mau menerima hadiah baiknya itu. Akhir dari kemarahannya itu membuat burung perkututnya tadi sekarat karena dipaksa untuk keluar dari sangkar. Lalu, sang juragan tua sadar bahwa kemerdekaan bisa diberikan kepada orang yang memang bisa menghargai dan mengerti kemerdekaan yang sebenarnya. Pada akhirnya, sang juragan mengajarkan seluruh burung perkututnya itu untuk mengerti terhadap kebebasan yang bisa mereka nikmati. Tak lama, mereka semua keluar dari sangkar dan mengambil kebebasan dengan cara mereka sendiri.

Putu Wijaya dengan jelas memberikan kritik terhadap banyak orang yang masih ragu untuk merdeka dan bebas mengekspresikan dirinya dalam hidup. Pada awalnya kemerdekaan diberikan sebagai bentuk hadiah bagi orang-orang yang telah melakukan kebaikan. Seolah-olah kemerdekaan adalah upah yang didapat dari suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang. Dalam monolog ini digambarkan melalui sang juragan tua yang membuka sangkar sang burung untuk terbang bebas. Tentu hal itu sangat membingungkan. Hakikat dari kemerdekaan harusnya datang dari kesadaran diri sendiri, lalu timbul rasa apresiasi dan dengan sadar menjalankannya dalam hidup sehari-hari tanpa ada hambatan apapun. Itulah yang sering terlihat di banyak orang terkait dengan kemerdekaan menurut Putu Wijaya.

Putu Wijaya juga memberikan gambaran kemerdekaan yang indah dan menggemberikan melalui dialog dari sang juragan tua dengan sang burung. Kemerdekaan adalah suatu tujuan yang harus dicapai, surga yang indah, pusat kebahagiaan dst., bagi sang burung hal itu sungguh aneh karena semua yang disebutkan sudah ia dapatkan di dalam sangkarnya. Saya tidak berbicara tentang klise bahwa kemerdekaan selalu baik karena kemerdekaan bisa datang dari banyak perspektif. Dalam kisah ini, kemerdekaan yang dipaksakan justru memberikan korban. Sang juragan yang terlalu memaksakan kehendaknya untuk membuat burung itu menikmati kebebasan dan kemerdekaan, justru malah membuat burung itu sekarat karena panik dan menabrak dinding sangkar. Kemerdekaan yang dipaksakan membuat seseorang itu tidak siap dengan konsekuensi kemerdekaan yang dia dapatkan. Dia tidak mengerti kekuatan dan tanggung jawab besar apa yang bisa dia terima karena kemerdekaan yang ia dapatkan. Alih-alih justru membuat orang itu tersiksa dan menjadi korban karena kemerdekaannya sendiri.

Di akhir kisah, Putu Wijaya menuliskan tentang refleksi singkat dari sang juragan tua yang menyadari bahwa kemerdekaan itu didapatkan bukan diberikan. Di sini perlu dipahami oleh banyak orang, karena sebenarnya kemerdekaan itu sudah ada di dalam diri masing-masing pribadi, hanya waktu untuk mempergunakan dan menggapainya saja yang membuatnya berbeda satu dengan yang lain. Sang juragan tua mengajari arti kebebasan yang sebenarnya terhadap 250 juta burung perkutut lainnya, dan membuat mereka sadar tentang kemerdekaan yang sesungguhnya. Akhirnya, semua burung itupun terbang bebas menuju angkasa, menembus cakrawala, dengan kegigihan dan rasa percaya diri mendapati kembali kemerdekaan yang sudah hilang dalam diri.

Putu Wijaya sebenarnya tidak hanya memberikan kisah yang penuh kritik dengan menarik, tetapi juga memberikan pembelajaram baru bagi banyak orang untuk kembali melihat apa arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Dari kemerdekaan Indonesia saja kita semua sudah dapat memahami sedikit demi sedikit arti kebebasan seperti apa. Indonesia merdeka bukan karena diberikan Jepang, betul? Ya, Indonesia merdeka karena perjuangannya sendiri, kegigihan satu bangsa, satu tekad, dan satu cita-cita. Indonesia merdeka karena kesadaran mereka untuk merdeka. Indonesia bukan negara give away yang secara gamblang mendapatkan kemerdekaan secara cuma-cuma karena aspek yang tidak jelas. Perlu dilihat kembali bahwa kemerdekaan yang diangkat oleh Putu Wijaya adalah kemerdekaan yang datang dari diri sendiri untuk memang lepas-bebas membawa diri sesuai dengan keinginan diri dan hati nurani.

Masih banyak orang yang memberikan kemerdekaan sebagai upah bagi orang lain. Jika dianalogikan mirip dengan pelatih anjing yang sedang melatih anjing. Anjing itu diwajibkan melakukan berbagai macam trik, jika berhasil sang pelatih itu memberinya upah berupa daging kecil karena berhasil melakukan apa yang dikehendaki. Seperti itukah manusia-manusia merdeka di sekitar kita? Ya dan tidak, tetapi dari monolog ini kita bisa menjawab ya, ya dan ya. Kemerdekaan itu bukanlah upah yang bisa diberikan sebagai bentuk apresiasi dari dedikasi yang ada, melainkan upah yang didapatkan dari perjuangan, kegigihan, dan keinginan untuk berubah melalui kesadaran penuh dari pribadi maupun bersama. Dari situ, saya sadar bahwa Putu Wijaya lebih dari sekadar memberikan kritik rasional yang baru, melainkan juga pesan moral untuk kita bagikan ke banyak orang.

Kisah monolog yang ditulis dengan gaya seorang Putu Wijaya dapat membuat banyak orang tersipu bersih dengan kritik pedas dan akuratnya. Terkadang stereotip yang muncul sempat mengena dengan tepat pada sasaran yang dituju salah satunya adalah kritik kemerdekaan ini. Dengan pembuatan kisah yang menarik dan epik, pesan yang disampaikan hampir tidak meleset apabila orang-orang bisa memerhatikannya dengan baik. Orang-orang hanya perlu mengilasbalikkan kehidupannya, melihat sisi-sisi masa lalunya, terkait dengan dirinya yang sudah merdeka atau belum. Kemerdekaan Indonesia merupakan representasi kemerdekaan yang harus dimiliki dalam diri. "Jer Basuki Mawa Bea", jika ingin ada perubahan, harus ada yang dikorbankan; jika ingin diri ini merdeka dan bebas, diperlukan perjuangan, kegigihan, percaya diri untuk menggapainya dan tentu bukan sembarang mendapatkan kemerdekaan yang diberikan orang lain. Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, kemerdekaan hanya bisa datang pada orang yang bisa menghargai dan mengerti kemerdekaan yang sebenarnya. Lalu, sudahkah Anda merdeka?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline