Lihat ke Halaman Asli

Skincare Viral: Antara Popularitas dan Integritas Ilmiah

Diperbarui: 12 Desember 2024   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di era teknologi saat ini, menghindari fenomena perawatan kulit viral telah menjadi tantangan. Sebagai Mahasiswa Universitas Airlangga, saya merasa perlu melihat masalah yang lebih mendalam di balik banyaknya produk viral tersebut, terutama ketika informasi tentang bahan aktifnya tidak benar. Ini tidak hanya menimbulkan ancaman bagi kesehatan masyarakat, tetapi juga menunjukkan integritas industri kosmetik dan kekurangan pengawasan regulasi yang perlu diperhatikan.

Setiap bahan aktif yang digunakan dalam industri farmasi memiliki dasar ilmiah yang mendukung klaimnya. Produk perawatan kulit yang mengklaim mengandung bahan-bahan seperti vitamin C, niacinamide, atau retinol harus memiliki validasi ilmiah, baik melalui analisis laboratorium maupun pengujian klinis. Sayangnya, fenomena skincare viral sering kali lebih penting daripada kejujuran ilmiahnya. Misalnya, untuk menarik perhatian pelanggan, beberapa produk menampilkan konsentrasi bahan aktif yang tinggi. Namun, setelah diuji, konsentrasi tersebut jauh di bawah tingkat yang efektif secara farmakologis. Ada juga produk yang sama sekali tidak mengandung bahan aktif, tetapi menggunakan bahan pengganti yang lebih murah yang lebih efektif atau berpotensi merugikan. Lebih penting lagi, tidak jarang produk-produk ini menggunakan bahan berisiko seperti merkuri atau hidrokuinon tanpa disebutkan pada labelnya. Ini melanggar etika bisnis dan hukum karena bahayanya bagi kesehatan pengguna dalam jangka panjang.

Dalam dunia apoteker, validasi klaim bahan pada produk kosmetik adalah langkah yang tidak dapat diabaikan. Sebagai produk yang diaplikasikan langsung pada kulit, kandungan bahan aktif dalam skincare harus sesuai dengan standar keamanan dan efektivitas yang telah ditetapkan oleh otoritas, seperti BPOM. Jika klaim produk tidak sesuai dengan komposisi sebenarnya, maka potensi risiko kesehatan seperti iritasi, reaksi alergi, bahkan kerusakan kulit jangka panjang menjadi ancaman nyata.

Indonesia memiliki masalah besar dalam mengawasi ribuan produk yang beredar di pasaran karena industri kosmetiknya berkembang pesat. Berita yang menyebar di media sosial sering kali mengaburkan pengawasan resmi. Karena kecepatan distribusinya, terutama di platform online, produk viral seringkali tidak diawasi. Hal ini menunjukkan kelemahan sistem pengawasan yang tidak dapat beradaptasi dengan perubahan pasar kontemporer. Lebih sering daripada tidak, lembaga seperti BPOM gagal melacak popularitas produk tertentu. Dalam beberapa kasus, mereka baru bertindak setelah konsumen mengalami masalah, seperti reaksi alergi yang bertahan lama atau penemuan bahan berbahaya dalam produk. Sebaliknya, produsen sering memanfaatkan kelemahan ini untuk mempercepat penetrasi pasar tanpa memperhatikan tanggung jawab mereka terhadap kesehatan konsumen. Kesenjangan ini menunjukkan masalah struktural dengan regulasi karena inovasi pasar berkembang lebih cepat daripada pengawasan hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline