Lihat ke Halaman Asli

Gaungnya Tidak Terdengar(?) (Mengkritisi Program Gong Belajar)

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh: Refael Molina
Mahasiswa FKIP UKAW Kupang

TULISAN ini sesungguhnya terinspirasi dari permenungan panjang penulis terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan di NTT. Salah satu upaya tersebut adalah dengan adanya program Gong belajar.

Program ini sebenarnya merupakan seruan moral yang di cetuskan oleh Pemda NTT yang bertujuan untuk menyadarkan masyarakat luas khususnya kepada subjek didik (siswa) agar dapat memiliki keinginan tulus untuk belajar, dapat meningkatkan intensitas dan efektifitas waktu untuk belajar sehingga pada akhirnya belajar pun akan menjadi budaya dikalangan para pelajar kita.

Berbicara tentang belajar, maka sebenarnya belajar sudah dilakukan sejak adanya peradaban manusia. Ini berarti manusia telah memiliki keinginan untuk belajar bahkan bagaimana mengatur waktu secara baik untuk belajar. Lantas, mengapa Gong belajar hadir ditengah-tengah kita? Apakah ini karena pelajar kita sudah tidak memiliki keinginan belajar lagi? Bila pelajar kita memiliki keinginan untuk belajar, pertanyaan yang kemudian timbul adalah, apakah pelajar kita sudah memanfaatkan waktu secara efektif untuk belajar atau hanya ‘asal-asalan’ saja belajar? Saya kira kita semua akan menyimpulkan jawaban yang sama bahwa para siswa/I belum memanfaatkan waktu secara baik untuk belajar. Hemat penulis alasan inilah yang membuat Gong belajar hadir ditengah-tengah kita.

Terlepas dari hal tersebut, ada banyak argument dan pandangan yang beredar di kalangan masyarakat bahwa semakin Gong tersebut (Gong belajar) ditabuh namun gaungnya tidak terdengar oleh para subjek didik / pelajar kita. Lanta, apa yang membuat sehingga para pelajar tidak mendengar gaung dari gong belajar?

Pengaruh Kapitalisme
Hemat penulis, penyakit maha dahsyat yang sedang menggerogoti hingga membuat para peserta didik tidak mendengar gaung dari gong belajar adalah pengaruh kaum kapitalisme (para pemilik modal). Mereka sedang menjerumuskan para pelajar kita pada arah kehidupan hura-hura dan bersenang-senag (hedonisme) maupun kehidupan konsumtif dan berfoya-foya (sekularisme).

Entah percaya atau tidak, kaum kapitalis (pemilik modal) dewasa ini tengah gencar memamerkan beragam produknya, termasuk pakaian, dan aksesoris lainnya. Salah satunya adalah celana pendek (shorts) yang kini oleh kebanyakan orang disebut dengan nama beken, ‘celana umpan’. Menariknya produk kaum kapitalis yang dulunya hanya dipakai oleh para artis seperti yang kita lihat melalui layar TV atau sekedar digunakan sebagai pakaian rumah oleh kaum kelas menengah keatas.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kini kaum kapitalispun berhasil ‘membius’ masyarakat luas khususnya para pelajar untuk bisa membelinya di toko-toko, kios’kios, pasar maupun di mall di kota ini. Meskipun dengan harga yang lumayan tinggi namun karena berkehendak untuk bergaya, maka secara perlahan para pelajarpun akhirnyamembeli dan menggunakan produk yang satu ini.

Produk inipun biasanya dipakai oleh para pelajar khususnya bagi pelajar perempuan untuk ‘berkeliaran’ dijalan, di deker, berkonfoi, di halte-halte hingg nongkrong di rumah teman, bergaya ala artis . Terlepas dari waktu efektif belajar di sekolah, para pelajar sepertinya memikirkan kapan dan dimana mereka harus bergaya dengan produk tersebut (celana umpan). Pelajar kita begitu tergoda dengan produk kaum kapitalis yang satu ini hingga menjadikan mereka sebagai consumer dan bahkan menjadi ‘budak’ kaum kapitalis.

Fenomena ini memberi bukti betapa pelajar kita lebih memikirkan waktu dan cara yang efektif untuk bergaya (fashion), ketimbang memikirkan dan mengatur waktu dan cara yang efektif untuk belajar.

Kedua, pelajar kita dewasa ini tengah dibius pula oleh adanya musik-musik ala western seperti DJ, hip-hop, punk rock maupun rock and roll. Hal ini membuat pelajar kita rela mengimitasi gaya ‘nge-suffle maupun dance’ tanpa peduli dimana mereka berada. Entah dijalan, di emperan toko, hingga dibawah tenda-tenda pesta. Tak terbantahkan bila dunia gemerlap (dugem) ala barat telah merasuk jiwa para pelajar kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline