Lihat ke Halaman Asli

Implementasi Kurikulum 2013 dan Urgensinya Pendidikan Karakter

Diperbarui: 4 April 2017   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Implementasi Kurikulum 2013 dan Urgensinya Pendidikan Karakter

Oleh : Refael Molina

TEPAT pada tanggal 15 Juli 2013 lalu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), telah ‘menyuarakan’ agar sekolah-sekolah di seantero Indonesia mengimplementasikan kurikulum 2013 (K-13). Ini menambah panjang rentetan sejarah pergantian kurikulum di Indonesia menjadi sepuluh kali. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kurikulum yang pernah diterapkan di Indonesia antara lain, kurikulum rentjana pelajaran (1947-1968); kurikulum tahun 1947 (rentjana pelajaran 1947), kurikulum 1952 (rentjana peladjaran terurai 1952), rentjana peladjaran 1964, kurikulum 1968, kurikulum berorientasi pencapaian tujuan (1975-1994); kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006 danK-2013.

Ketika K-13 diterapkan, ada segelintir kalangan yang gelisah, takut, protes, hingga menolak. Pada saat yang sama, ada banyak kalangan yang senang dan menerima adanya implementasi K-13. Meski demikian, penulis tidak ingin membuka ruang kontroversi pada tulisan ini. Penulis pun meyakini  adanya adagium, ‘tidak ada yang kekal di dunia ini, selain perubahan itu sendiri’. Berangkat dari adagium tersebut, hemat penulis perubahan kurikulum bisa dikatakan sesuatu yang wajar. Pasalnya, bila ditilik lebih jauh, maka perubahan dilakukan demi mengatasi kekurangan atau permasalahan pada kurikulum sebelumnya, dimana Kemendiknas telah melakukan pengkajian (Uji Publik) terhadap kekurangan atau permasalahan kurikulum sebelumnya dan hal itu dilakukan demi perubahan yang lebih baik pada K-13.

Adapun dalam Uji Publik tersebut menemukan beberapa permasalahan yang terjadi pada kurikulum 2006 (KTSP) diantaranya: (1) Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (2) Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (3) Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum; (4) Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (5) Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; (6) Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan (7) Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.

Menarik ketika melihat point ke-3 dari permasalahan diatas. Salah satunya terletak pada pendidikan karakter. Ini berarti Kemendiknas bertujuan menjadikaan pendidikan karakter sebagai prioritas utama dalam K-13. Tak heran bila K-13 sering disebut sebagai kurikulum berkarakter (budaya/bangsa). Lantas, apakah kita  mengklaim kurikulum-kurikulum sebelumnya tidak terdapat ‘pendidikan karakter’?  Tentu tidak! Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Samani Muchlas dan Hariyanto dalam buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter (2012:7) bahwa sejak Orde Lama, pendidikan karakter sempat mewarnai kurikulum di Indonesia dengan nama pendidikan budi pekerti yang terintegrasi dalam berbagai bidang studi dengan landasan pengembangan kebudayaan, pendidikan budi pekerti lebih banyak ditekankan pada hubungan antar-manusia, antara siswa dan guru, antara siswa dan orang tua, dan antar siswa”.  Ini bertanda bahwa dalam K-13 ini pemerintah ingin lebih menekankan kehadiran pendidikan karakter.

Urgensi Pendidikan Karakter

Sejalan dengan penjelasan diatas, Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh pun telah menegaskan penting dan mendesaknya pendidikan karakter. Hal itu telah dimulai pada tahun 2011, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Tema peringatan Hardiknas kala itu yakni, ‘Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa’ dengan Subtema ‘Raih Prestasi, Junjung Tinggi Budi Pekerti’. Ini sebagai bentuk ‘concern’ pemerintah terhadap urgennya pendidikan karakter, menyusul adanya perilaku pelajar kita dewasa ini yang kontras dengan tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang SISDIKNAS,yang mengutamakan pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selain itu, perilaku (attutude) pelajar kita pun tidak sejalan dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional dalam Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011) dalam Samani Muchlas dan Hariyanto (2012:52) yang bersumber dari  agama, pancasila budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yakni: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikasi, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab.

Perilaku kontra-nilai-nilai pendidikan karakter ini seiring rendahnya budaya disiplin dan tertib belajar di sekolah, dan di rumah yang semakin menurun, meningkatnya jumlah siswa yang bolos dan absen saat jam pelajaran, meningkatnya kelompok komunitas geng motor yang setiap kali ‘ugal-ugalan’ dijalan-jalan protokol, adanya budaya menyontek hingga plagarisme (plagiat). Selain itu, Tempo Interaktif, 27/8/2009) dalam Samani Muchlas dan Hariyanto dalam buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter (2012:2) pun mengemukakan makin meningkatnya tawuran antar- pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja lainnya terutama di kota-kota besar, pemerasan, kekerasan (bullying-red), kecenderungan dominasi senior terhadap yunior dan berbagai fenomena buruknya karakter pelajar kita. Pada kondisi yang redup ini, pendidikan karakter perlu diperkuat di setiap lembaga pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, siapa yang paling berperan dalam memperkuat serta ‘membumikan’ nilai-nilai pendidikan karakter dalam K-13?

Peran Guru

Upaya ‘membumikan’ nilai-nilai pendidikan karakter memang membutuhkan peran dan tanggung jawab semua stakeholders, mulai dari pemerintah, orang tua siswa, pemerhati pendidikan, tokoh masyarakat maupun tokoh agama. Namun, tidak berlebihan jika melalui K-13 peran guru pelu lebih diutamakan. Mengingat, guru menjadi ‘aktor’ utama dalam mengimplementasikan K-13 melalui pendidikan formal di sekolah (kelas), sehingga sosok guru sangat dibutuhkan dan begitu penting dalam mengejahwantahkan nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam tiga domain atau ranah pendidikan, yakni kognitif (pengetahuan), afektif (sikap, perilaku), dan psikomotor (keahlian atau ketrampilan) dari  output belajar siswa. Tak pelak, guru menjadi tumpuan utama dalam ‘membumikan’ pendidikan karakter, khsusnya melalui ranah afektif dan psikomotor dalam K-2013. Karena harus diakui, selama ini banyak kalangan menilai ranah afektif dan psikomotor seakan ‘mati suri’ ketimbang ranah kognitif.

Betapa tidak, para guru begitu bangga ketika anak didiknya justru mampu menghafal banyak catatan, materi serta konsep-konsep pelajaran yang diajarkan serta menyimpannya dalam otak mereka, ketimbang berinovasi, mempraktikan dan melakukan konsep atau teori yang telah disimpan dalam otak. Tentu, dalam implementasi K-13 ini, sudah saatnya materi serta konsep-konsep tersebut diimplementasikan dalam keseharian peserta didik, baik dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Sehingga ketiga domain tersebut dapat berjalan ‘seimbang’ dan ‘seiring’.  Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana guru melihat dan menilai sikap mupun keahlian peserta didik (pada ranah afektif dan psikomotor) ketika mereka berada dilingkungan masyarakat?

Hal ini agaknya sulit. Namun pada kondisi ini, guru harus mampu melihat dan menilai peserta didiknya, dengan kompetensi sosial yang dimiliki, yakni bagaimana menjaga hubungan baik dengan lingkungan sosial, masyarakat maupun orang tua siswa, serta kompetensi personal yang dimiliki, yakni bagaimana menunjukkan kepribadian (personality-red) dan attitude (sikap-red) yang baik kepada anak didik. Hal ini untuk lebih mengetahui serta menilai perilaku dan ‘tindak-tanduk’ pelajar, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, dan pada saat yang sama guru pun hadir dan menunjukkan sikap dan teladan yang baik bagi peserta didik.

Tidak hanya sampai disitu saja, peran guru bimbingan konseling (BK) pun tidak bisa diabaikan begitu saja, namun sangat diharapkan. Bila kita mau jujur, selama ini peran guru BK belum maksimal di semua sekolah seantero Indonesia. Hal ini terbukti ada sejumlah sekolah di Indonesia bahkan di NTT belum merekrut tenaga guru BK murni (guru berkualifikasi BK) untuk mengabdi di sekolah. Meskipun ada, kehadiran mereka justeru hanya melengkapi struktur organisasi sekolah dan bahkan ada yang tugasnya hanya membantu menyeleseikan tugas kepala sekolah, dan komite sekolah untuk mengurusi ‘tetekbengek’ sekolah yang jauh dari tugas pokoknya. Sungguh ironis!

Realitas ini berbeda dengan Sistem Pendidikan di negara Finlandia. Lihat saja, Pemerintah Finlandia tidak hanya fokus mempersiapkan tenaga guru yang berkualitas, tetapi juga sangat ‘jeli’ mempersiapkan guru yang secara khusus ‘menangani masalah personal peserta didik dan perilakunya’. Tidak mengherankan bila hal ini menjadi salah satu faktor penentu yang membuat Sistem Pendidikan di sana,  justru diplot sebagai yang terbaik sejagad pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Saya harus mengancungkan jempol dan mengakui keunggulan sistem pendidikan di negara Finlandia, dan itu patut dicontoh dan ditiru. Oleh karena itu, bila kita ingin memperbaiki karakter anak-anak bangsa yang kian hari semakin buruk, bobrok, dan jauh dari nilai-nilai religius maupun nilai-nilai budaya bangsa. Maka, peran guru kelas, guru mata pelajaran dan peran guru BK untuk menangani masalah personal peserta didik dan perilakunya melalui implementasi K-13 adalah mutlak. Merdeka!***

Penulis adalahAnggota Forum Penulis NTT; Beberapa Tulisannya Pernah Dimuat pada Harian Pagi Timor Express, Victory News dan Tabloid Warta Guru NTT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline