Lihat ke Halaman Asli

Elegi dan Tawa…

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

-Part 3-

Mata ini terbuka untuk kedua kalinya setelah terbangun dari lelapnya istirahat. Bayangan sahabat dan sang Peri menambah energi untuk melanjutkan tugasku menyelesaikan segala persiapan. Badan ini kupaksa untuk berdiri, seketika kuusap wajah ini dengan tanganku, merah darah bercampur air mata bukan lagi pemandangan yang asing, kuusap lagi wajahku, hingga tak akan lagi mengganggu penglihatanku. Kuraih persiapanku dan terlihat semua masih ditempatnya, tinggal sedikit lagi yang harus kurapihkan. Pandangan ini sengaja tak kualihkan kearah retakan-retakan itu, tak kuasa mata ini melihatnya semakin retak. Pandangan ini tetap pada fokusnya, kuraih sedikit demi sedikit bagian-bagian yang berserakan dan hantaman-hantaman terus menghantam tubuhku, aku menahan hantaman-hantaman tersebut. Suara para Sahabat dan sang Peri kembali terdengar sedikit demi sedikit. Setiap kali aku berhasil bertahan dan melalui hantaman-hantaman itu, suara mereka terdengar semakin jelas. Hal itu menjadi sumber energi yang sangat membantuku.

Semakin lama aku semakin menyukai hantaman-hantaman itu, walaupun semakin sakit terasa di tubuh, namun setelahnya aku bisa mendengar suara para Sahabat dan sang Peri yang semakin terdengar jelas. Rasa sakit dari hantaman itu memang membuatku terkadang mengucurkan darah dan air mata, belum lagi lebam yang menghiasi tubuh, sakitnya terasa setiap waktu, namun kepuasan mendengar suara-suara itu membuatku bertahan dan terus bertahan. Suara itu alasanku untuk bertahan…

Hantaman kembali menghajar tubuhku, kali ini tubuhku tak kuasa lagi menahannya. Jatuh… tubuh ini terjatuh, tapi kali ini ada tawa yang menghias hati ini ketika tubuhku terjatuh, karena suara-suara itu terus menemaniku dalam kesakitan, tidak ada alasan bagiku untuk melewati suara-suara itu, maka aku berusaha untuk berdiri dengan segala kekuatan yang tersisa. Ternyata hantaman itu tidak menyerah begitu saja, terus menghantam dan terus menghantam, tapi senyum tetap menghiasi wajahku meskipun semakin hebat darah ini mengalir. Terkadang pandanganku melihat menyerah yang sedang menangis melihatku menahan rasa sakit. Mengapa ia menangis? Apa dia merasakan kesakitan yang kurasakan? Tapi aku hanya tersenyum membalas tangisannya tanda bahwa aku baik-baik saja.

Hantaman terakhir begitu keras dan rasanya sangat amat sakit, tak kuasa lagi tubuhku menahan hantaman itu dan hantaman itu berhasil menjatuhkan tubuhku…

Persiapanku kini telah selesai dihiasi dengan sisi terakhir yang terpecah dari retakannya. Sedih melihat sisi yang retak itu kini pecah dan aku tau betul bahwa segala sesuatu yang telah pecah tidak mungkin bisa kembali seperti keadaan normal, aku paham itu. Dan Peri? Kemana dia pergi? Apakah dia akan kembali atau dia akan terbang dan menghilang? Ataukah aku yang akan menghilang bersama kelelahanku?

Akhirnya semua selesai, tapi ini garis finish yang sebenarnya semu. Aku harus kembali mendaki, ini hanya tempatku beristirahat untuk sedikit menghela nafas, karena aku baru saja ada ditengah-tengah pendakian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline