Lihat ke Halaman Asli

Elegi dan Tawa…

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

-Part 2-

Aku tersenyum mengingat romantisme bersama sahabat-sahabat ku. Senyuman itu tidak berhenti hingga akhirnya mata ini tertutup dan terlelap bersama ingatan-ingatan indah di dalam benak.

“Za… Bangun… liat persiapan itu sedikit lagi selesai, selesaikan…”

Mataku sedikit demi sedikit terbuka, sedikit berbayang, namun semuanya jelas terlihat bahwa tetap tiada seorang pun di lorong ini. Pandangan kualihkan kearah persiapan, semuanya terlihat hampir selesai. Aku merasakan kelelahan yang sangat amat menggelayuti tubuh, namun suara Peri kecil terdengar lagi dalam mimpi dan membangunkanku, ternyata dia tidak benar-benar pergi. Sang Peri hanya memberi kesempatan kepadaku untuk tetap bisa berjuang dengan tenaga yang kumiliki, dia tidak pergi, dia tetap ditempatnya dan memperhatikan ku dari kejauhan dan siap memberikan tenaganya kepada ku untuk menghadapi, waktu…

Waktu. Bermain dengan waktu sebelum sisi itu semakin retak dan akhirnya pecah dan sebelum Peri itu benar-benar pergi dan meninggalkan aku. Dengan tenaga yang sedikit untuk bergerak dan berfikir, aku melanjutkan persiapanku, satu demi satu kembali aku rapihkan, tata, dan aku jaga agar tetap ditempatnya, sementara retakan tetap pada tugasnya.

Terbersit kembali wajah sang Peri. Terpikir sejenak akan apa yang sahabat dan Peri lakukan kepadaku. Aku hanya mengharapkan pemberian mereka dalam bentuk semangat, kehadiran, dan juga kesenangan, tapi apakah aku memberikan mereka apa yang seharusnya kuberikan? Sang Peri tidak mengharapkan apapun, dia hanya ingin aku tetap menyelesaikan persiapanku, hanya itu…

Dengan tenaga seadanya aku terus berusaha menyelesaikan persiapanku, sedikit demi sedikit aku rapihkan, terkadang ada saja yang membuat persiapan itu terhenti, maka tenaga ini dialokasikan untuk berfikir keras dan terus berfikir. Halangan demi halangan menghantam dengan sangat keras, hingga tenaga ini semakin terkuras, terkadang berhenti sejenak merupakan satu-satunya pilihan. Teringat kini hanya jiwa ini yang bisa menolong, tiada sahabat ataupun Peri yang akan datang untuk membantu merapihkan persiapan atau sekedar tertawa bersama untuk mengurangi beban di jiwa.

Istirahat begitu nikmat. Aku terkapar di lorong kosong dan hening ini, sendiri dan tetap ditemani menyerah yang selalu datang tepat pada waktunya. Dia hanya menatap saya dengan tatapan yang sangat hangat, dia tersenyum dan berkata “cukup sudah usahamu, istirahatlah…”

Mataku meneteskan airnya, entah ini air mata atau darah yang mengalir, semua terasa sama. Keringat keletihan juga terus membasahi tubuhku. Bisakah aku beristirahat sejenak, sekedar memejamkan mata? Atau aku ikut dengan menyerah? aku sungguh tidak memiliki tenaga lagi, sungguh…

Gelak tawa dan senyum damai para sahabat dan sang Peri terbayang dalam benakku disaat mata ini mulai terpejam. Mereka terlihat sangat bahagia dan mereka memandangiku dengan tatapan hangat mereka. Suara mereka terdengar jelas di telingaku, tapi habis daya ini untuk menggapainya.

Namun suara mereka semakin lama semakin menjauh dan perlahan menghilang, hingga hilang bersama raga dalam diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline