Lihat ke Halaman Asli

Terkadang Kita Harus Dipaksa

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Ini tulisanku beberapa tahun lalu)

Ya, terkadang kita harus dipaksa. Dipaksa untuk bisa melakukan sesuatu yang tidak biasa kita lakukan, bahkan (yang kita rasa) diluar kemampuan kita. Dipaksa untuk keluar dari zona nyaman yang selama ini melingkupi diri kita. Dipaksa untuk mengerahkan segenap potensi yang kita miliki. Bila memang ‘paksaan’ itu untuk hal-hal yang baik, sesungguhnya bisa jadi ini adalah cara Allah mendidik kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.

Saya mengambil dari pengalaman pribadi beberapa tahun yang lalu. Kalau dilihat dari latar belakang keluarga, bisa dibilang saya adalah orang yang ‘kuper’ (kurang pergaulan), cenderung lebih suka menyendiri daripada bersosialisaasi. Tapi Allah punya rencana terbaik untuk diri saya. Tepatnya ketika saya mulai aktif mengikuti pengajian. Karena berusaha untuk hadir rutin ke pengajian itulah, saya mulai belajar berani pergi ke tempat-tempat yang lebih jauh, bahkan ke Jakarta (saya tinggal di Depok). Jadi ingat waktu pertama kali saya mau menyetop metromini, saya sempat deg-degan, takut, khawatir, karena saya tidak pernah  bepergian jauh sendirian. Beberapa kali bisnya lewat tapi saya belum berani melambaikan tangan untuk menyetopnya. Tapi dengan niat yang bulat supaya bisa hadir, saya berhasil mengatasi masalah ini. Kalau saya ingat masa-masa itu jadi geli sendiri, karena saya pernah tuh salah naik mobil (karena jenis mobilnya sama-sama bis miniarta), harusnya ke Pasar Minggu malah  naik yang ke Bogor ! Hehehe, saking groginya kali …J

Bukan hanya ini pelajaran yang saya dapat, dengan pengajian ini saya belajar bersosialisasi, berkomunikasi, menghadapi bahkan berbagi dengan orang lain. Sesuatu yang harusnya saya pelajari di waktu-waktu sebelumnya, kini baru saya pelajari di usia belasan (Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan ?…Hehehe). Saya berusaha merubah diri saya karena sesungguhnya apa yang diharapkan Islam dari umatnya adalah untuk kebaikan umatnya juga.

Selain pengajian, saya pun belajar banyak ketika saya diterima di sebuah perusahaan distributor alkes di Jakarta. Saya harus pulang pergi naik KRL dengan segala suka dukanya, pergi dalam kondisi gelap, pulang juga demikian, bertemu dengan segala macam tipe manusia baik  di KRL maupun di jalan. Saya merasa ‘dipaksa’ untuk memikul beban tanggung jawab ekonomi saat itu, tapi beberapa tahun kemudian baru saya menyadari banyak hikmah yang Allah berikan dibaliknya. Wah, kalau ingat kenangan ini jadi pengen nangis, ternyata saya bisa juga melewatinya meski hanya untuk 2 tahun saja.

Beberapa tahun kemudian, saya diterima bekerja di lembaga ini (LKC Dompet Dhuafa). Diterima di  posisi yang –lagi-lagi – saya harus belajar banyak, yaitu resepsionis. Mulailah saya beradaptasi dengan kondisi berhadapan dengan orang banyak, berkomunikasi yang bisa difahami orang lain – yang kebanyakan dhuafa. Padahal saya (waktu itu) lebih suka berhadapan dengan barang daripada dengan manusia, tapi Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk saya. Jadi ingat firman-Nya di Surah Al Baqarah ayat 216 : “Boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu.”…Subhanallah..

Saya sempat dimutasi ke bagian non shift di staf donasi dan relawan, dan orang yang saya hadapi pun berubah, bukan lagi orang-orang dhuafa. Ini pun membutuhkan keterampilan komunikasi yang berbeda. Saya bersyukur, saya dipaksa belajar banyak di lembaga ini, apalagi dengan seringnya kegiatan/even diadakan oleh lembaga ini dan melibatkan para karyawan sebagai panitia, membuat kami harus banyak-banyak belajar menata waktu agar tidak melalaikan amanah sebagai pankitia sekaligus tidak mengabaikan pekerjaan utama kami. Alhamdulillah, meski masih ada kekurangan disana-sini, saya terpacu untuk belajar dan belajar lagi.

Saran saya ke teman-teman semua (terutama yang dulu kuper kayak saya…hehehe..) : jangan pernah takut untuk mencoba, jangan pernah ragu untuk berupaya. Lebih baik mencoba dulu daripada tidak sama sekali, bila memang kita sudah mencoba maksimal kemudian tak mampu juga, barulah kita mengatakan bahwa kita memang tidak bisa. Banyak-banyaklah sharing dengan teman-teman, tetaplah berada di lingkungan orang-orang yang baik, agar kita terkondisi untuk selalu dalam kondisi baik, dan selalu mendapatkan motivasi terbaik dari teman-teman kita. Terakhir, jangan pernah mengendurkan ikatan kita dengan Allah, karena pada hakekatnya Dialah yang memberikan kekuatan kepada kita, ketika menghadapi berbagai problematika dan kompetisi dalam kehidupan. Karena pada hakekatnya hidup adalah kompetisi dan kita perlu berusaha “memaksakan diri” untuk bisa selalu unggul dalam kompetisi tersebut. Tetap semangat !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline