Sebuah rumah umumnya bertahan hanya sampai beberapa puluh tahun, hal tersebut karena bahan bangunannya yang tidak dapat bertahan lama, bencana alam, kebakaran, pengalihan fungsian, dan tidak ditempati lagi. Selain itu, bentuk rumah sekarang sangat berbeda dengan zaman dulu, misalnya saat ini rumah sebagai tempat tinggal sehari-hari telah banyak berbentuk gedung yang sering kita sebut rumah susun dan apartemen hal ini dilakukan biasanya karena keterbatasan lahan. Namun, berbeda kondisi dengan pedesaan yang masih banyak tersedia lahan untuk mendirikan bangunan, walaupun demikian tetap saja bahan bangunan yang digunakan tidak sekokoh dahulu.
Kelihatannya hal ini tidak berlaku dengan sebuah bangunna rumah yang berada di Desa Pulau Gemantung, masyarakat setempat mengenal bangunan ini dengan Rumah Depati Bahar dan Rumah Adat Bengkulah. Alasan, mengapa orang menyebut rumah ini sebagai Rumah Depati Bahar adalah mengacu pada pemilik dari rumah tersebut saat ini yang merupakan keturuan langsung dari Haji Rais (Pendiri Rumah Adat Bengkulah), kemudian rumah ini disebut Rumah Adat Bengkulah adalah arsitektur bangunannya sangat klasik layaknya rumah orang pada zaman dahulu dan nama Bengkulah sendiri adalah nama kemargaan masyarakat yang menempati wilayah tersebut hingga saat ini.
Rumah ini dibangun sekitar tahun 1897 tepatnya 14 tahun setelah peristiwa letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda, rumah ini masih kokoh berdiri hingga saat ini dan masih menjadi tempat tinggal bagi keturunan pendirinya dulu, diperkirakan usia banguanan ini mencapai 125 tahun, di dalam rumah terdapat kaca yang berukuran besar yang berdampingan dengan sebuah Guci tua, peti kayu yang tingginya sepinggang orang dewasa, dan beberapa foto yang sudah usang. Konon menurut masyarakat setempat di bagian bawah rumah ini terdapat penjara bawah tanah yang digunakan pada zaman dahulu, namun hal keberadaan penjara ini masih menjadi misteri karena pemilik rumah ini pun hingga saat ini tidak pernah mengizinkan orang-orang yang ingin membuktikan keberadaan penjara ini.
Rumah ini menghadap ke arah matahari terbit, hal ini dipercaya karena berdasarkan hukum arah mata angin, Timur dapat memberikan cahaya, kedamaian, kenyamanan, dan ketentraman. Selain itu, arah ini juga memiliki makna menatap masa lalu yang berarti pemimpin harus memiliki kebijaksanaan dan kearifan untuk menyikapi masa lalu yang dibawa ke masa sekarang. Kita sebagai generasi yang akan meneruskan masa depan bangsa dan negara juga tidak boleh kehilangan jati diri meskipun terus tergerus oleh kemajuan zaman.
Secara kebudayaannya sendiri masyarakat di tempat ini terpengaruh oleh pengaruh besar tiga kerajaan serumpun melayu, seperti Kerajaan Skala Brak, Kerajaan Sriwijaya, dan Kesultanan Palembang Darussalam yang masing-masing pernah berjaya pada masanya dan membawa banyak pengaruh sosial melekat hingga kini, menurut pemiliknya dahulu rumah ini merupakan pusat Pemerintahan Marga atau Suku Bengkulah. Rumah ini memiliki luas 120 meter persegi dan berbahan utama kayu. Rumah ini juga mengandung filosofi mempertahankan adat istiadat dan nilai-nilai syariat islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H