Bepergian ke suatu tempat, khususnya ke tempat yang jauh dan baru, baik untuk urusan pekerjaan atau sekadar liburan, pasti tetap menimbulkan rasa khawatir. Namun jika tempat tujuan kita masih memiliki kultur yang beririsan ataupun kesamaan bahasa, misalnya jika bepergian ke daerah yang jauh namun masih di dalam negeri, rasa khawatir tersebut dapat sedikit terurai, tapi bagaimana jika pergi ke luar negeri? dengan perbedaan kultur dan bahasa yang signifikan sepertinya kita akan menghadapi beberapa persoalan kecil yang cukup berarti, penulis memang belum pernah merasakan hal tersebut (baca: ke luar negeri), namun dalam artikel ini penulis akan menceritakan pengalaman menarik ketika seseorang mengunjungi tempat yang sangat berbeda kultur dan bahasanya.
Beberapa waktu lalu, penulis berkesempatan untuk bekerja menemani salah dua dari puluhan seniman yang berasal dari berbagai negara untuk melakukan residensi seni di Yogyakarta, Indonesia. Dua seniman tersebut berasal dari Serbia, negara bekas pecahan kerajaan Yugoslavia yang memiliki bahasa sendiri dengan budaya khas Eropa.
Sebagai orang yang menemani selama hampir setengah bulan di Jogja, saya paham betul kesulitan terbesar mereka ketika tidak bersama dengan penulis, tentu tidak jarang ponsel genggam berdering karena telepon dari mereka untuk menanyakan atau mengkonfirmasi sesuatu.
Sehingga kesulitan pertama yang mereka alami jelas terkait bahasa, dan yang kedua ketika mereka melakukan transaksi jual-beli.
Perbedaan bahasa tentu saja akan menjadi persoalan, dan mereka pasti sudah menyadarinya sebelum datang ke Indonesia, namun di era digital seperti ini sangat mudah menyelesaikan persoalan bahasa dengan bantuan Google Translate, bahkan bukan tidak mungkin bagi mereka untuk berkomunikasi dengan masyarakat lokal Jogja menggunakan bahasa Jawa dengan memanfaatkan Google Translate, hal yang sangat lumrah bila benar terjadi saat ini bukan?
Lalu bagaimana dengan persoalan kedua? terkait transaksi jual-beli, beruntungnya dalam cerita ini adalah karena mereka datang ke Kota Jogja yang memiliki julukan Kota Wisata sehingga cukup mudah untuk menemukan tempat penukaran uang/money changer di pusat kota, namun karena lokasi residensi mereka berada di selatan Kota Jogja, pada akhirnya kesulitan untuk mencari tempat penukaran uang dialami juga oleh mereka.
Kemudian ketika melakukan transaksi, terkadang harga yang diberikan oleh penjual tidak sesuai dengan harga seharusnya (dipatok lebih mahal), bahkan kembalian yang diberikan juga sering kurang. Persoalan tersebut membuat penulis berpikir bahwa hal semacam itu juga dapat menimpa penulis, atau siapapun ketika berkunjung ke tempat/negara lain dengan perbedaan bahasa maupun mata uang, karena jelas tidak mudah untuk melihat kecurangan-kecurangan kecil tersebut dengan keterbatasan bahasa dan budaya.
Namun, lagi-lagi persoalan yang kedua tersebut juga terjawab oleh zaman digital, sebab Bank Indonesia sejak tahun 2019 telah meluncurkan sistem pembayaran yang terintegrasi dengan seluruh metode pembayaran non-tunai yang ada di Indonesia, bernama QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).
Ternyata tidak berhenti sampai disitu, belum lama ini QRIS mulai melakukan ekspansinya ke beberapa negara tetangga dengan misi mempermudah berbagai transaksi. Malaysia dan Thailand adalah negara yang sudah resmi mengintegrasikan pembayaran non-tunai nya dengan QRIS, Filiphina dan Singapura menjadi tujuan selanjutnya, perlahan namun pasti QRIS akan mewujudkan konektivitas sistem pembayaran dengan bank sentral lain di Asia Tenggara, dan mungkin saja dunia.
Tingkat penggunaan QRIS sejak awal diluncurkan hingga saat ini terus mengalami kenaikan yang pesat, hal tersebut tak lain karena alasan kemudahan. Kemudahan QRIS juga turut diakui oleh seniman asal Serbia yang ditemani oleh penulis, mereka cukup terkejut ketika melihat penulis membayar sesuatu hanya dengan memindai barcode menggunakan ponsel genggam kemudian memasukkan pin atau passwordnya, jauh lebih mudah daripada kartu kredit internasional yang dibawa oleh kedua seniman tersebut, sebab tidak semua toko memiliki alat untuk kartu kredit, apalagi untuk bertransaksi di toko-toko yang masih tradisional.
Kemudahan yang dimiliki QRIS merupakan kunci utama yang telah disediakan oleh Bank Indonesia, tugas kita hanya tinggal memutar kuncinya dan menginjak gasnya dalam-dalam dengan cara menggunakan dan menggencarkan QRIS untuk memudahkan berbagai aktivitas transaksi dan tentu saja agar sistem QRIS yang sangat mudah tidak hanya digunakan di Indonesia, namun juga mendunia.
Semoga.