Lihat ke Halaman Asli

Nasib Seorang Seniman Jalanan

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siang itu saya bersama seorang teman pergi ke kantor pemerintah kota Surabaya untuk menyelesaikan urusan pekerjaan. Sesampainya di sana, ternyata ada beberapa data yang harus di fotokopi sebelum diserahkan kepada petugas. Kami pun segera melangkahkan kaki menuju tempat fotokopi terdekat, sebuah tempat fotokopi atau lebih tepatnya bangunan multifungsi karena selain terdapat fotokopi juga ada beberapa stand makanan yang memanjakan lidah. Tempat ini bisa jadi merupakan tempat favorit jujugan pegawai-pegawai pemkot karena saya datang tepat pada saat jam makan siang dan suasananya ramai sekali.

Bukan hanya stand makanan yang kebanjiran pengunjung, tempat saya mem-fotokopi dokumen juga ramai. “Wah, ramai sekali. Bisa lama nih selesainya. Lha dokumen yang harus saya copy jumlahnya ratusan halaman…” pikir saya saat itu. Tetapi karena tempat ini satu-satunya fotokopi terdekat, maka kami pun sabar menunggu. Kebetulan saya termasuk tipe orang yang suka melihat atau mengamati sebuah proses, jadi mengamati ratusan lembar dokumen yang di-copy terasa menyenangkan.

Setelah beberapa saat, konsentrasi saya terpecah setelah mendengar denting musik yang mengalun di dekat telinga saya. Sebuah alunan musik yang sederhana namun merdu. Dalam hati saya berpikir bahwa alunan musik ini pasti berasal dari jari-jari pengamen jalanan yang biasa mampir di warung-warung makan. Kontan saja saya menoleh ke belakang dan mencari sumber suara. Tapi, saya tidak menemukan apa pun. Saya sempat heran sesaat, siapa yang memainkan alunan merdu ini?

Ternyata, alunan ini berasal dari seorang kakek tua yang memainkan alat musik mirip kecapi, yang memiliki 8 senar kalau tidak salah. Dan posisi kakek tua ini hanya berjarak sekitar satu meter di belakang saya, sedang duduk bersila sembari bersandar di dinding pembatas warung dan tempat fotokopi. Saya hanya bisa tertawa pada tingkah saya sendiri, yang sedari tadi kebingungan mencari sumber suara yang ternyata hanya berada sekitar satu meter di belakang saya (atau di belakang kaki saya tepatnya, karena posisi seniman ini duduk bersila). Sekarang, yang saya amati bukan lagi aktivitas fotokopi tetapi beralih mengikuti jemari kakek tua ini memetik senar-senar yang terhampar di hadapannya.

Seorang kakek yang saya perkirakan berumur 70an tahun ini mengamen sendirian, tanpa seorang pun menemani. Tidak ada gelas plastik bekas air mineral yang biasa digunakan pengamen untuk menampung sedekah dari orang-orang. Tidak ada pula yang memperhatikan aktivitas kakek ini selain saya. Tatapan mata sang kakek yang sudah berkurang ketajamannya itu lebih sering menerawang jauh, dan sesekali terpejam. Jemarinya sudah keriput karena termakan usia, tetapi masih mampu memetik bahkan membuat alunan merdu dari senar-senar itu. Sembari memainkan musiknya, sang kakek bernyanyi mengkuti alunan nada yang dia ciptakan. Meskipun suaranya parau, symphony yang indah tetap tercipta. Kakek ini benar-benar menikmati musik yang dia mainkan, tanpa peduli dengan hiruk pikuk orang-orang di sekitarnya. Raut wajahnya damai sekali, seakan tidak ada lagi beban hidupnya. Bahkan sang kakek tidak sadar saat saya memberi sedikit uang, beliau baru sadar saat saya berdiri. Saya sempat melemparkan senyuman pada sang kakek. Kemudian beliau menyelipkan kata “matur nuwun sanget” dalam lirik lagu yang sedang dimainkan sambil membalas senyuman saya.

Terus terang saya sedih jika melihat seseorang yang seharusnya sudah bisa hidup tenang menikmati masa tua-nya tetapi masih harus bergulat dengan hidup yang sudah pernah dia jalani selama puluhan tahun. Apakah beliau tidak punya anak yang seharusnya bisa membiayai hidupnya di masa tua? Apakah beliau sebatang kara? Atau siapakah beliau dalam keluarganya, apakah masih sebagai tulang punggung keluarga? Berbagai pikiran semacam itu terlintas dalam benak saya, dan sampai hari ini belum terjawab.

Saya pun sempat berpikir bahwa apakah sang kakek sengaja melakukan aktivitas itu untuk secara tidak langsung mengenalkan kepada kaum muda bahwa alunan musik dengan bahasa jawa halus (krama) masih relevan. Bahkan mungkin beliau menunggu ada satu atau sekelompok orang yang mau meneruskan dan melestarikan musik berbahasa jawa halus tersebut. Saya hanya dapat berharap bahwa suatu saat ada pihak-pihak yang sadar dengan nasib seniman jalanan seperti kakek ini, dan (mungkin) bersedia memberikan tempat kepada para seniman ini untuk mengapresiasikan musiknya.

Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline