Lihat ke Halaman Asli

Redhitya Wempi Ansori

Penyuka Nasi Padang dan Bakso

Rocky Gerung dan Reinkarnasi Sofisme

Diperbarui: 19 Januari 2024   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

              Ungkapan "No Rocky, No Party" beberapa tahun belakangan ini kerap didengungkan. Beberapa kalangan yang begitu memuja pikirannya yang kritis, tajam, dan berani. Sebaliknya,  beberapa juga ada yang mengumpatnya tak karuan karena terlampau keras dan telanjang dalam mengejawantahkan pikirannya. Rocky Gerung jenis manusia yang perlu dilestarikan menurut hematku, pun  perlu terus ditampilkan sebagai penyeimbang di tengah konstelasi politik praktis yang kadang perlu dibacoti agar kembali ke koridor jalan yang sesuai jalurnya. Tulisan ini bukanlah bentuk sentimen subjektifku terhadap Rocky Gerung, pun tulisan ini bukan puji-pujian lamis kepada Rocky Gerung. Tulisan ini sebenarnya hanya analisis otak-atik mathuk setelah saya menggauli sejarah Filsafat Yunani yang secara khusus membahas Kaum Sofis. 

            Melalui tulisan ini, saya malah ingin memurnikan Rocky Gerung dari tendensi dan mencoba melucuti jubah tebal yang menylimuti badannya  agar preferensi politik tertentu yang melekat di badannya terlepas, hingga telanjang.  Oleh sebab itu,  Kata memurnikan tersebut jangan dimaknai sebagai sebuah kekaguman terhadap Rocky Gerung.  Hal tersebut terlalu prematur dan serampangan apabila dimaknai sebagai bentuk kekaguman. Malah, sebenarnya saya kerap tak setuju dengan pandangan dan pikiran-pikirannya, meskipun tak terlalu galak. Walapaun begitu, bukan berarti juga hal yang diejawantahkan Rocky Gerung salah. Ketidaksukaan terhadap beberapa pandangannya murni subyektivitas pandanganku

                Rocky Gerung adalah pendebat ulung, pendebat yang punya kualifikasi mumpuni sebagai komunikator yang bisa men-tackle argumen lawan. Beliau punya kemampuan merespon secara cepat argumen lawan debatnya dan memprosesnya untuk dicari titik lemahnya. Tak butuh waktu lama untuk memproses, seolah otaknya berprosesor  8th Gen Intel Core i7 yang didukung dengan Ram 16 Gb, seketika beliau bisa membalik argumen lawannya dan meng-uppercut si lawan tanpa tedeng aling-aling hingga terkapar di medan laga berdebatan. Fenomena Rocky Gerung ini mengingatkan pada peristiwa sejarah sekitar abad ke 5 atau 6 SM di Athena (Yunani), peristiwa monumental ini melibatkan kaum sofis. Kaum  yang dikenal karena kelihaiannya dalam beretorika, kaum yang piawai dalam beragumentasi dan punya kemampuan untuk meyakinkan orang. 

             Merujuk kata sofis asbabun nuzulnya dari kata sophos, sophos ini secara literal punya arti bijak atau kebijaksanaan. Secara konseptual sofis memang berarti positif, tapi secara praktik antites dari arti positifnya. Kaum sofis ini oleh Platon (Plato) disebut sebagai sekumpulan intelektual yang superficial, manipulatif, ahli retorika dan dialektika. Namun, tentu saja dalam arti yang buruk, Platon menegaskan orang sofis ini sebagai orang yang amoral. Artinya, kaum sofis ini menggunakan kemampuannya untuk memanipulasi demi memperoleh kejayaan. Romo Setyo Wibowo pernah menyinggung dalam kuliah umumnya bahwa kaum sofis ini dikenal sebagai orang yang mampu mengadakan apa yang tidak ada dan sebaliknya meniadakan apa yang ada. Oleh sebab itu, banyak yang menjuluki kaum sofis sebagai relativis. Relativitas yang sifatnya moral dan relativitas yang bersifat kebenaran. Oleh kaum sofis semua serba relatif bergantung silat lidahnya.

                Paparan di atas mengingatkan kita pada sosok yang saya singgung di awal tulisan ini, Beliau dari segala aspek punya kecukupan indikator untuk disebut sebagai sofisme kontemporer. Yaa saya pikir sebutan ini lebih sophisticated dari sebutan hewan-hewanan yang begitu populer dan masif didengungkan prapemilu 2019 (cebong-kampret). Rocky Gerung benar-benar memberdayakan filsafat sebagai komoditi dagangan. Dagangan yang dijajakan Rocky Gerung adalah intelektualitasnya. Pertanyaannya, apakah yang dilakukan Rocky Gerung salah? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin meminjam postulat kaum sofis, yakni tentang pola relativisme. Relatif di sini saya fungsikan untuk menjawab pertanyaan tersebut karena ingin memberi gambaran utuh agar tak memandang dari satu sudut pandang saja. 

             Tentunya, dunia sekarang ini tidak hanya hitam dan putih, tapi ada kemungkinan warna lain yang bisa menjadi bagian dari jawaban. Oleh sebab itu, jawaban saya mulai dengan rumusan jawaban "yang dilakukan Rocky Gerung tidak salah" karena filsafat adalah sebuah alat (tool), tidak ada sanksi hukum dan larangan secara tegas untuk mempergunakan filsafat sebagai komoditas nilai jual. Malah, melalui filsafat yang digunakan sebagai metode untuk membongkar persoalan dari akarnya, sehingga bisa memberikan jawaban secara holistik, tidak hanya jawaban pada soal ranting dan pohon, tapi akar juga menjadi pembahasan. Implikasinya, persoalan dapat tergambar dari hal mendasar hingga menyeluruh. Kalau sudah tergambar secara menyeluruh bisa dirumuskan sikap atau solusi atas persoalan tersebut.

                Rocky Gerung juga punya hak dalam menjenamai dirinya sebagai seorang pemikir. Pemikir yang punya kebebasan akademik untuk memberdayakan aspek keilmuannya dan mengimplementasikan keilmuannya untuk mencari nafkah. Dengan ngamen dari satu diskusi ke diskusi yang lain, dari seminar satu ke seminar yang lain. Hal tersebut legal dan tidak ada masalah, itu murni hak pribadi seorang akademisi untuk diberi mimbar akademik. Menurutku, posisi Rocky Gerung yang selalu beroposisi  menjadi penetral mengenai ketidakadilan yang tampil dalam wajah kebijakan yang dirumuskan oleh pemangku kekuasaan. Melalui jargon "merawat akal sehat" beliau mencoba merangsang pikir masyarakat Indonesia untuk sampai pada level berpikir kritis dan analitis. 

             Hal itu kerap beliau sampaikan dalam ungkapan-ungkapan filosofisnya. Ungkapan filosofis yang konseptual, abstrak, dan kadang butuh waktu untuk mencerna proposisi yang beliau sampaikan. Hal itu dalam rangka mengajak masyarakat untuk berpikir, dan merumuskan pikiran agar punya kewarasan dan akal yang sehat. Melalui Rocky Gerung keilmuan filsafat mulai mendapat tempat di masyarakat kita. Hal tersebut membuat filsafat  sukses mengambil atensi publik. Publik seakan tercerahkan dan terperangah dengan metode yang digunakan Rocky Gerung dalam menganalisis dan membongkar persoalan secara kritis dan mendalam. Dampaknya menimbulkan intellectual curiosity masyarakat terhadap keilmuan filsafat. Itu hal positifnya

               Jawaban kedua terkait persoalan yang saya lontarkan di atas mengenai pertanyaan "apakah yang dilakukan  Rocky Gerung salah?" jawaban kedua ini dari aspek kontradiktifnya. Jawaban ini sebenarnya lebih mengarah ke penyelamatan keilmuan filsafat dari pemerahan dan pemerkosaan secara habis-habisan, agar apa yang terjadi pada tahun 400-an SM tidak terulang dan menjadi sejarah baru. Terkait persoalan yang kedua ini, sudah ada jawaban nyatanya. Hal tersebut seperti yang dilakukan akademisi filsafat lintas kampus. Pada forum ini dibahas secara komprehensif mengenai klaim-klaim Rocky Gerung dan dimaterialisasikan dalam sebuah diskusi bertajuk "Menolak Pembusukan Filsafat".  Di antara punggawa-punggawa filsafat yang hadir dalam diksusi tersebut, sebut saja Goenawan Mohamad, Romo Setyo Wibowo, Donny Gahral Adian, dan Akhmad Sahal menelurkan rumusan kesepakatan bahwa Rocky Gerung bukanlah seorang filsuf, melainkan seorang sofis. Poin yang lain menyebutkan secara galak bahwa menolak praktik sofisme sebagai permainan tipu daya berbungkus kelihaian silat lidah dan permaianan kata. Tentu saja, itu menunjuk tidak lagi sembunyi-sembunyi . Namun, menunjuk tepat hidung Rocky Gerung. Rocky Gerung sebagai representasi wajah sofisme klasik kontemporer dianggap merendahkan muruah filsafat ke dalam retorika sofis yang minus esensi.

                Rocky Gerung ini sebenarnya juga sebuah paradoks dalam sofisme. Kalau dirunut dari sejarah kaum sofis, sebenarnya untuk pertama kalinya muncul sekolah yang berbayar, sekolah modern, sekolah dengan kurikulum dan para pengajarnya akan dibayar setelah mengajar. Konon kabarnya ini pertama kali dilakukan oleh kaum sofis. sebelumnya tradisi sekolah berbayar ini belum ada dalam sejarah pengajaran di Yunani. Bahkan, di Akademia tempat sekolah milik Plato orang bisa belajar tanpa harus membayar. Yang dilakukan Rocky Gerung malah sebaliknya, dalam sesi wawancara beliau mengaku bahwa selama 15 tahun mengajar di UI beliau tidak pernah mengambil honor. Menurutnya, di UI beliau hanya diminta oleh seorang koleganya untuk membantunya mengajar karena yang bersangkutan sedang studi S-3 di luar negeri. 

               Beliau menambahkan bahwa mengajarnya di UI itu murni panggilan moral dan tuntutan seoarang akademisi untuk menyebarkan virus akal sehat untuk meminimalisasi kedunguan (ohhh iya, mengenai kata "dungu" ini akan saya singgung dalam soal yang lain). Malahan, beliau kerap membantu mahasiswa yang kesulitan dana karena tidak mampu membayar uang semester. Hal itu dilakukan dengan alasan yang sama pula bahwa "di UI itu ada banyak mahasiswa dari luar daerah yang punya potensi besar karena cerdas dan pintar-pintar. Sayang sekali kalau sampai putus kuliah karena biaya", ungkap beliau. Hal tersebut tentunya julukan kaum sofis yang disematkan kepadanya tidak 100 persen sesuai karena dalam beberapa aspek beliau gugur. Memang, beliau mengomersilkan filsafat untuk membranding dirinya, sehingga dia kerap diundang di seminar dan pelatihan dengan honor yang fantastis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline