Kasus korupsi di Indonesia seperti tidak ada habisnya. Setiap tahun pasti ada saja kasusnya mulai dari tingkat desa hingga lembaga -- lembaga tinggi negara. Karena tingginya kasus korupsi, Indeks Persepsi Korupsi kita pun merosot 4 poin dari 38 pada tahun 2021 menjadi 34 pada tahun 2022. Selain itu rangking Indonesia ikut melorot 14 tingkat dari 96 menjadi 110.
Yang mengejutkan adalah 87 persen koruptor itu adalah sarjana. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, pada Dies Natalis ke -- 54 Universitas Malikussaleh di Lhoukseumawe, Aceh. Mahfud MD mengatakan bahwa dari jumlah 1200 koruptor di Indonesia terdapat 1044 orang merupakan sarjana. Itu artinya bahwa orang -- orang yang memakan uang rakyat adalah orang -- orang yang berpendidikan tinggi.
Kenyataan ini membuktikan bahwa berpendidikan tinggi tidak menjamin seseorang tidak melakukan korupsi. Bahkan data membuktikan hal sebaliknya, orang -- orang berpendidikan tinggilah yang paling sering mencuri dari rakyat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut Darmaningtyas, karena sedang terjadi krisis karakter. Krisis karakter ini disebabkan oleh pendidikan kita yang lebih berorientasi pada hal -- hal praktis -- pragmatis, berorientasi pada hasil atau manfaat, atau kegunaan daripada yang lebih mendasar yakni proses pemanusiaan dan pembudayaan.
Senada dengan Darmaningtyas, Abdul Kahar mengatakan bahwa pola pendidikan yang ada di Indonesia , lebih mengacu pada hal -- hal yang bersifat praktis -- pragmatis, sehingga gagal dalam membentuk sumber daya manusia berkarakter. Bahkan secara filosofis pendidikan tanpa karakter berkontribusi besar terhadap kemiskinan.
Kemiskinan yang dimaksud bukanlah kemiskinan materi semata tetapi juga kemiskinan intelektual, kemiskinan moral dan kemiskinan spiritual. Hal inilah yang membuat banyak orang berpendidikan tinggi cenderung kehilangan suara hati untuk membedakan mana yang benar dan salah, kehilangan pijakan yang jelas dalam mengambil keputusan serta cenderung memikirkan diri sendiri dan kelompoknya.
Selain itu mengapa orang berpendidikan tinggi lebih sering korupsi? Karena memang merekalah yang mempunyai akses untuk itu. Dengan kata lain orang -- orang berpendidikan tinggi yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk korupsi sebab mereka dekat dengan kekuasaan, keuangan dan sumber -- sumber kekayaan negara. Sedangkan orang -- orang dengan pendidikan rendah tentu tidak mempunyai kesempatan seluas mereka.
Dalam rational choice theory, menyebutkan bahwa mayoritas koruptor adalah orang -- orang yang berpikiran rasional atau orang -- orang berpendidikan. Sebab mereka penuh perhitungan dan akan melakukan sesuatu berdasarkan perhitungan biaya dan manfaat. Apabila dari analisis mengenai manfaat dan kerugian yang dilakukan, ternyata dia beranggapan bahwa manfaat dari melakukan korupsi masih lebih besar daripada kerugiannya maka dia akan melakukan korupsi.
Nah, lalu apa yang bisa kita lakukan? Pertama, kita harus mengembalikan pendidikan pada kepentingan utamanya atau dalam istilah Driyarkara yakni proses pemanusiaan manusia. Proses pemanusiaan manusia ini meliputi "humanisasi" dan "hominisasi". Hominisasi berasal dari kata Latin homo (manusia) diartikan sebagai proses pendidikan umum yang menyadarkan seseorang sebagai manusia. Sedangkan "humanisasi" yang berasal dari kata Latin humanus (manusiawi) merupakan proses pendidikan selanjutnya yang lebih khusus, yang menghasilkan kebudayaan dan perilaku halus, terukur dan memperlihatkan peradaban.
Dalam seluruh proses pemanusiaan manusia, pendidikan karakter menjadi agenda penting. Dengan pendidikan karakter kita tidak saja menghasilkan generasi penerus yang lebih unggul dan kompetitif, tetapi juga antikorupsi. Karenanya nilai -- nilai karakter bangsa yang bersumber dari Pancasila harus ditanamkan sejak dini melalui proses pendidikan.
Terdapat 18 nilai pendidikan karakter dan 9 nilai antikorupsi yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan. Nilai -- nilai pendidikan karakter mencakup; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Sedangkan pendidikan antikorupsi mencakup nilai -- nilai; jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, mandiri, adil, berani dan peduli.
Kedua, memperkuat sistem pengawasan internal. Caranya dengan penguatan kapasitas aparatur pengawasan internal pemerintah. Ini perlu dilakukan karena fungsi dari aparatur ini adalah mendorong, mengawasi, mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya korupsi. Namun agar pengawasan internal ini efektif perlu memenuhi tiga elemen berikut: 1) Sumber daya manusia yang dipilih harus berkarakter antikorupsi dan profesional. 2) Memberikan honor yang sepadan dengan tugas pokoknya. 3) instrumen kelembagaan yang sepadan dan sejajar antara perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.