Dulu, Aku membayangkan menikah seperti mengarungi lautan dengan sampan berdua. Walau deras gelombang menghantam. Kita terus mendayung menerjang penuh asa.
Karena cinta adalah kekuatan. Ia yang membantu tangan terus mengayuh, menjaga mata terus memandang, memelihara asa di dalam hati dan mendorong kita berlayar jauh ke tengah lautan dalam.
Tapi kini, aku sadar menikah tak semudah itu. Kadang kita adalah badai yang mencipta gelombang. Kita merobek dinding biduk kita sendiri dengan benci. Hingga air menyusup melalui lubang - lubang hasil amarah membawa kita ke ambang kehancuran.
Karena benci adalah racun. Ia membuat mata tak saling memandang. Telinga tak saling mendengar. Kulit tak bisa merasa. Hati di penuhi halimun. Kita mengayuh ke dua arah berlawanan.
Benci membangkitkan amarah, membuang cinta ke tengah laut. Tubuh hilang kendali. Merusak apa pun termasuk dirinya sendiri. Akal raib begitu saja. Hati nelangsa. Menangis dalam diam.
Namun cinta tetaplah kekuatan. Sejauh apa pun kita membuangnya. Ia tetap kembali. Dalam dirinya selalu ada maaf, ada pengampunan. Ia merangkul kita kembali. Mengajak mata untuk memandang, melihat sisa senyum di bibir. Membuka telinga untuk mendengarkan dan membersihkan hati dari kabut - kabut amarah yang masih mengelabui.
Atambua, 15 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H