Beberapa waktu yang lalu kita disuguhi berita tentang penangkapan Yahya Waloni dan Muhammad Kece. Kedua orang tersebut ditangkap lantaran diduga melakukan penistaan terhadap agama.
Yahya Waloni ditangkap karena dituding melakukan ujaran kebencian bernada SARA dan menodai agama Kristen melalui ceramah yang diunggah di YouTube.
Ia dinilai merendahkan kitab Injil dengan menyebutnya sebagai kitab fiktif atau palsu. Sedangkan Muhammad Kece ditangkap karena diduga menghina agama Islam.
Ucapan Kece yang dipersoalkan ialah saat dia menyebut kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren menyesatkan dan menimbulkan paham radikal. Dia juga menyebut ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW tidak benar sehingga harus ditinggalkan. Atas tindakan yang dilakukan, keduanya diancam dengan hukuman 6 tahun penjara.
Yahya Waloni dan Muhammad Kece sebenarnya bukanlah orang pertama yang ditangkap karena diduga melakukan penistaan agama. Sebelumnya banyak sekali tokoh -- tokoh penting di masyarakat yang ikut terjerat dalam kasus penistaan agama ini, sebut saja Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Almarhum Ustad Maheer, Gus Nur, Eggi Sujana, Martinus Gulo, Julius Herry Sarwono dan Melliana. Mereka semua terpaksa harus mendekam di balik jeruji besi setelah divonis bersalah oleh hakim.
Apabila kita mau melihat lebih jauh lagi ke kebelakang, kita akan menemukan pula kasus -- kasus penistaan agama yang berujung konflik -- konflik berbau SARA. Salah satu konflik besar yang dipicu oleh penistaan agama adalah Konflik Poso. Persoalannya ialah seorang pemuda Kristen menghujat Nabi Muhammad sebagai seseorang yang tidak termasuk dalam jajaran para Nabi.
Akibat perbuatannya itu terjadilah kerusuhan hebat yang menelan korban jiwa yang sangat banyak, kerugian materi yang tidak terhitung, trauma psikologis anak -- anak yang berkepanjangan serta gelombang pengungsian yang menguras tenaga dan air mata.
Kenyataan -- kenyataan ini sebenarnya adalah alarm bagi kita untuk sadar bahwa persoalan kerukunan beragama di Indonesia sedang dalam keadaan tidak baik -- baik saja. Ibarat fenomena gunung es, inilah sebagian kecil yang sempat terekspos, namun yang tidak terekspos di masyarakat bisa jadi jauh lebih besar apa yang kita ketahui. Karena itu selain penegakan hukum sebagaimana yang dilakukan oleh kepolisian, mesti ada upaya -- upaya preventif yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencegah terjadinya kasus serupa sehingga konflik antar agama tidak sampai terjadi.
Kenyataan ini pun ternyata jauh -- jauh hari telah disadari oleh para pemuda di beranda perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan negara Timor Leste.
Mereka sejak tahun 2015, aktif mengkampanyekan keberagaman, toleransi, Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan beragama dan berkeyakinan serta persamaan gender. Di samping itu, mereka juga gencar memerangi radikalisme, intoleransi, diskriminasi dan bentuk -- bentuk ketidakadilan lainnya termasuk penistaan agama.
Pemuda -- pemuda itu dikenal dengan nama pemuda KOMPAS (Komunitas Peacemaker Perbatasan). Mereka adalah pemuda -- pemuda lintas agama, lintas etnis dan lintas gender yang ingin hidup berdampingan dalam damai dengan sesamanya yang berbeda.