Seminggu yang lalu, saat berselancar di laman Kompasiana sekadar membaca tulisan -- tulisan kompasianer, mata saya langsung disuguhkan dengan tulisan Sound of Borobudur.
Ternyata Kompasiana sementara menyelenggara Event Blog Competition tentang Sound of Borodudur dengan hadiah yang sangat menarik yakni kesempatan jalan -- jalan ke Candi Borobudur. Melihat kata Borobudur, sekonyong -- konyong pikiran saya langsung menghantar saya pada kenangan 3 tahun lalu.
Pada saat yang sama muncul juga pertanyaan dalam benak saya, "Mengapa Sound of Borobudur? Apakah candi besar ini dapat bersuara?
Pengalaman ke Candi Borobudur
Seumur hidup saya baru sekali menapakan kaki di atas Candi Borobudur. Pengalaman itu terjadi pada tahun 2018 yang lalu saat saya mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi tempat saya bekerja di Yogyakarta. Karena letak Candi Borobudur yang tidak terlalu jauh dari Kota Yogyakarta sehingga pada hari terakhir kegiatan, panitia memberi kesempatan kepada kami berkunjung ke Candi terbesar di dunia itu untuk sekadar melihat dan berfoto. Bagi saya, pengalaman itu sungguh suatu pengalaman yang luar biasa dan sangat berkesan di mana saya bisa melihat secara langsung maha karya para pendahulu kita yang sangat kaya akan nilai seni dan nilai budaya serta berbagai ilmu pengetahuan.
Sebelumnya informasi tentang Candi Borobudur lebih banyak saya peroleh dari pelajaran di sekolah dan dari buku -- buku sejarah yang pernah saya baca. Dari situ saya mengetahui bahwa Candi yang memiliki 2672 panel relief dan 504 stupa itu dibangun pada abad 9 Masehi oleh Dinasti Syailendra dari Kerajaan Mataram. Lalu tahun 1991 lalu diakui oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia. Namun, apa artinya mengetahui tanpa melihat sendiri, menyentuh dan merasakan energi dari para pembuatnya. Sekalipun kita berkoar -- koar tentang kemegahan suatu karya, tetap saja orang akan pertanyakan tentang validitas informasi yang kita berikan.
Karena itu saat berada di Candi Borobudur saya berkeliling ke semua sisi bangunan bersejarah itu untuk melihat susunannya, melihat relief -- relief yang terpahat indah di dinding -- dinding candi, melihat patung -- patung yang mulai rapuh termakan usia, dan melihat stupa -- stupa yang megah sembari membayangkan bagaimana maha karya ini dibangun. Saya juga berdiri di depan stupa - stupa sambil berfoto ria, berjalan di bilik -- bilik candi yang cukup luas dan duduk semedi di tempat yang datar sambil merasakan rinai hujan menyentuh kulit.
Walaupun begitu sebagai seorang wisatawan biasa, banyak obyek yang luput dari pandangan saya waktu itu. Salah satunya adalah relief -- relief yang menampilkan alat musik. Sebab saya tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa Candi Borobudur memiliki kekayaan sejarah tentang musik. Apalagi sebuah pandangan tentang Borobudur Pusat Musik Dunia.
Pertanyaan: Mengapa Sound of Borobudur?
Mengapa Sound Of Borobudur? Apakah candi terbesar di dunia itu dapat bersuara? Pertanyaan ini memang pertanyaan orang awam yang heran. Terkesan sangat polos dan sarat akan ketidaktahuan. Tetapi dari pertanyaan ini lahir rasa ingin tahu akan kekayaan Candi Borobudur yang biasa dipromosikan oleh Kementerian Pariwisata dalam program Wonderful Indonesia sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia.
Lalu setelah berikhtiar di jagad internet, saya menemukan bahwa Sound of Borobudur bukan berarti candi yang bersuara melainkan alunan musik yang lahir dari rahim Borobudur sebagai hasil kekayaan seni budaya dan kemajuan peradaban nusantara yang pernah dicapai nenek moyang kita 13 abad yang lalu. Hal ini terbukti dengan adanya relief -- relief pada dinding -- dinding candi yang memperlihatkan suasana orang memainkan alat -- alat musik. Namun sayang, relief -- relief ini tidak bisa dilihat secara langsung karena merupakan relief yang ada di dasar candi dan tertutup. Kita hanya bisa melihatnya pada foto -- foto yang pernah diabadikan oleh seorang fotografer bernama Kassian Cephass.