Lihat ke Halaman Asli

REDEMPTUS UKAT

Relawan Literasi

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Diperbarui: 10 Maret 2021   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinterest.com/virasafitri/katastoryofficial

Dahulu aku pernah mengalami jatuh cinta yang bertepuk sebelah tangan. Waktu itu cinta jatuh tiba -- tiba seperti gerimis di siang bolong, hadir sesaat lalu pergi. Aku sudah berusaha memilikinya. Tapi aku tidak bisa. Ia menguap sangat cepat. Jejaknya pun tidak bisa kutelusuri. Ia membongkar perasaanku, membiarkan pikiranku hidup dalam awang -- awang dan memaksa aku mengecap getirnya. Sekalipun aku menggunakan akalku untuk menemukan rahasianya, aku hanya tiba pada kesia-siaan.

Kisah kejatuhan cinta berawal dari kehadiran seorang perempuan. Dia bersahaja dan cantik. Dia polos tak seperti perempuan kebanyakan. Halus tutur katanya. Cantik peringainya. Bila ia tersenyum, ia membawa semesta pada siapa pun yang melihat. Bila dia tertawa, ada kedamaian di wajahnya.

Aku kemudian merasa menjadi Rama dalam kisah Ramayana dan dia adalah Sintha. Setiap hari aku berkutat melawan rasa yang bergejolak di hati bak melawan Rahwana di medan pertempuran. Sayangnya aku tak seberuntung Rama. Aku kalah oleh geliat Rahwana yang kuat dan hebat. Aku terkapar penuh luka yang menganga.

Lalu aku berpikir, aku mungkin bukan Rama. Aku hanyalah manusia biasa. Aku fana, aku bisa mati oleh ambisi dan obsesi.

Tiba -- tiba merasa menjadi seorang Arjuna. Dari imajinasiku, aku mengambil busur dan anak panah. Aku membidikan anak panah lurus tepat di jantungnya. Kutarik anak panahku dengan sangat hati -- hati dan kulesatkan padanya. Aku berharap anak panah itu tepat mengenai jantungnya. Tapi sayang perisai Dewa Indra melindungi tubuhnya. Panahku jatuh dan meleleh di hadapannya.

Aku merasakan petir menggelegar di udara dan halilintar menyambar -- nyambar di sisi kiri dan kananku, padahal saat itu musim kemarau. Di kejauhan aku melihat mendung dan kabut beriring -- iringan datang. Begitu pun malam bersama bintang dan bulan. Mereka tiba -- tiba merasa bahwa aku adalah keluarganya. Lucu. Tapi, aku tak bisa tertawa, karena tawaku sesak di leher. Aku tak bisa senyum, karena senyumku dirampas oleh sedih. Aku hanya terdiam, kaku dan kecewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline