Lihat ke Halaman Asli

Redaktur PPIJ

Biro Publikasi PPIJ 2021-2022

Manusia dan Bumi: Peran Arus Laut dan Sirkulasi Atmosfer (Bagian 5)

Diperbarui: 13 April 2022   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 11. Jalur Brouwer. Sumber: Wikipedia

Jalur Brouwer

Jalur perdagangan Portugis adalah mengitari pesisir Afrika lalu memanfaatkan angin muson menyeberangi Samudra Atlantik hingga sampai ke India, kemudian melewati Selat Malaka untuk selanjutnya menuju ke Kepulauan Rempah-rempah. Saat itu, Selat Malaka merupakan satu-satunya pintu masuk maritim ke kepulauan tersebut beserta seluruh wilayah Asia Timur. Akibatnya, Portugis, yang sukses menguasai Malaka, menjadi penguasa utama jalur dagang maritim di daerah tersebut. Belanda, yang mencoba untuk bertanding dengan Portugis dalam menguasai jalur dagang maritim, mencoba mencari jalur baru untuk memasuki Kepulauan Rempah-rempah.

Pada 1611, seorang kapten kapal VOC bernama Hendrik Brouwer berlabuh dari Belanda, mengikuti jalur Portugis menyusuri pesisir selatan Afrika, hingga sampai ke Cape of Good Hope. Sampai sini, ia tidak mengikuti jalur Portugis yang tetap mengikuti pesisir timur Afrika hingga Mozambik atau Kenya. Ia justru bergerak ke selatan menuju perairan tempat northwesterly winds berhembus ke timur. Angin ini kemudian membawanya mengarungi Samudera Hindia hingga 7000 km jauhnya sebelum kemudian ia berbelok ke utara menuju Pulau Jawa.  Jalur ini jauh lebih cepat dari jalur yang digunakan Portugis karena tidak perlunya menunggu musim berganti untuk menyeberangi samudra tersebut. Jalur ini kemudian disebut Jalur Brouwer (Dartnell, 2019). 

Salah satu masalah paling besar yang dihadapi oleh para pelaut dan penjelajah zaman dulu adalah bahwa mereka kesulitan untuk memperkirakan posisi mereka di tengah-tengah lautan atau samudra. Walaupun dengan melihat bintang-bintang tertentu di langit (yang dapat menjadi patokan) kita bisa memperkirakan posisi lintang kita, tetapi pada era saat jam yang akurat belum ditemukan, memperkirakan posisi bujur adalah hal yang hampir mustahil. Oleh karenanya, menentukan kapan harus berbelok ke utara menuju Indonesia memerlukan keberuntungan. Jika berbelok terlalu cepat, kita tidak akan pernah sampai di Indonesia dan hanya terombang-ambing tanpa arah di tengah-tengah Samudra Hindia. Sebaliknya, jika terlambat berbelok, kita akan terdampar di pesisir barat Australia yang penuh akan lautan dangkal yang penuh karang dan koral. Faktanya, banyak sekali bangkai kapal karam yang ditemukan di pesisir tersebut akibat dari terlambatnya mereka berbelok ke utara (Bernstein, 2009). 

Begitu sampai di Pulau Jawa, Brouwer sadar bahwa terdapat selat yang dapat menjadi pintu masuk lain ke Kepulauan Rempah-rempah selain Selat Malaka, yaitu Selat Sunda. Di sinilah, Belanda (atau VOC lebih tepatnya), menegaskan dominasinya terhadap wilayah tersebut. Mereka lalu membentuk Batavia (yang sekarang kita sebut Jakarta) di tahun 1619 sebagai pusat pemerintahan otonom mereka di Asia Tenggara dan untuk mengawasi jalur perdagangan yang melewati Selat Sunda. Sekarang kita sadar bahwa penjajahan Indonesia oleh Belanda merupakan konsekuensi langsung dari sirkulasi atmosfer Bumi. Menarik bukan?

Satu Jalur yang Mengubah Dunia

  Pada awal hingga pertengahan Era Eksplorasi, rempah-rempah merupakan komoditas utama dalam dunia perdagangan saat itu. Namun, memasuki abad ke-18, komoditas utamanya mulai bergeser dari rempah-rempah menjadi hasil bumi seperti kopi, gula, dan kapas. Hasil-hasil bumi ini, yang awalnya berasal dari Afrika, dipindahkan ke Amerika. Brazil menjadi produsen kopi, Karibia menjadi produsen gula, sementara kapas diproduksi di Amerika Utara (Bernstein, 2009). Pada dasarnya, hasil bumi yang diproduksi tidak hanya kopi, gula, dan kapas, tetapi juga tembakau, padi, gandum, hingga beberapa bahan baku seperti kayu, minyak paus, besi, dan lain-lain. Untuk memproduksi secara massal produk-produk tersebut, tentu dibutuhkan sumber daya manusia yang besar. Dari sinilah, pasar budak (slave market) terbentuk.

  Budak-budak ini umumnya merupakan penduduk lokal Afrika yang ditukar oleh tuan rumah (landlord) di wilayah asalnya dengan produk-produk manufaktur seperti tekstil dan senjata yang dibawa oleh para pedagang Eropa. Kemudian, para pedagang Eropa ini membawa budak-budak tersebut menyeberangi Samudra Atlantik Amerika untuk kemudian dijual ke para produsen hasil bumi di sana. Keuntungan dari menjual budak ini kemudian digunakan untuk membeli hasil bumi tersebut. Mereka kemudian kembali ke Eropa dengan membawa berbagai macam hasil bumi, termasuk bahan baku. Jalur maritim yang menghubungkan Eropa, Afrika, dan Amerika ini disebut sebagai Atlantic Trade Triangle. Jalur ini memanfaatkan kedua trade winds (bergantung tempat tujuan dagangnya: Amerika Selatan atau Utara) untuk menyeberangi Atlantik.

  Tentunya, setiap para pedagang Eropa melakukan perjalanan mengikuti Atlantic Trade Triangle untuk menjual budak, mereka mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut serta berbagai macam bahan baku. Dengan banyaknya pedagang Eropa yang sering melakukan aktivitas jual-beli budak ini, alhasil, negara-negara Eropa menjadi sangat kaya dan maju saat itu. Kondisi tersebut memungkinkan mereka memasuki zaman Revolusi Industri karena keuntungan yang besar tersebut mereka gunakan untuk menemukan segudang inovasi baru dan membangun berbagai macam teknologi revolusioner seperti mesin uap. Dari sinilah, seluruh dunia mulai mengalami pergeseran teknologi yang mengubah sejarah manusia setelahnya.

Gambar 12. Atlantic Trade Triangle. Sumber: brittanica.com

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline