Lihat ke Halaman Asli

Apakah Bunuh Diri Solusi untuk Hidup yang Tak Berarti?

Diperbarui: 16 Februari 2019   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi menggulingkan batu ke atas bukit (Sumber Gambar: Peter Dronen)

"Temanku mati bunuh diri dari lantai 5 sebuah mall," kata seorang teman lirih di Stasiun Juanda.

"Aku nangis waktu tahu kabar Jonghyun bunuh diri," ujar seorang teman pada setahun sepeninggalan Jonghyun.

"Eh, udah tahu belum kabar yang bunuh diri di Nangor?" Tanya seorang teman ke teman lainnya sealmamater. 

Alih-alih membicarakan bunuh diri dan kaitannya dengan kesehatan mental, tulisan ini akan membawa pada pembicaraan bunuh diri sebagai permasalahan filosofis, meskipun pada pembahasannya mungkin sama sekali tidak filosofis dan tokoh yang diangkat bukan seorang filsuf melainkan novelis.

"There is but one truly serious philosophical problem, and that is suicide," tulis Albert Camus sebagai pembuka sub bab Absurdity and Suicide dalam esai fenomenalnya, The Myth of Sisyphus. Camus adalah seorang novelis dengan kecenderungan filosofis yang kuat. Barangkali ini didapatnya karena ia belajar filsafat di Universitas Aljazair.

Pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dua tema utama filsafat awal abad kedua puluh, yakni eksistensialisme dan fenomenologi. Bahkan, tak jarang Camus dianggap sebagai filsuf eksistensialis, meskipun ia menolaknya.

Ada satu masalah filosofis yang benar-benar serius dan itu adalah bunuh diri. Ini tak lain karena bunuh diri berkaitan juga dengan persoalan hidup yang merupakan masalah filosofis paling penting karena konsekuensi drastis yang ditimbulkannya. Bayangkan saja, orang yang menilai hidup tidak layak dijalani besar kemungkinan akan melakukan bunuh diri, sedangkan orang yang merasa telah menemukan hidup cenderung mati atau membunuh untuk mempertahankan makna itu.

Pertanyaannya, apakah hidup yang tidak berarti adalah hidup yang tidak layak dijalani? Apakah bunuh diri sama dengan mengakui bahwa hidup tidak layak dijalani?

Tentang yang Absurd

Dalam esainya, Camus menaruh perhatian utama keseluruhan isi esai tersebut pada perkara "absurd". Bagi Camus, pengakuan bahwa hidup tidak berarti sama dengan perasaan absurd.

Kita tentu menjalani hidup dengan keyakinan bahwa hidup memiliki makna dan tujuan, serta perasaan bahwa kita melakukan sesuatu untuk alasan yang baik dan mendalam. Namun, kita menemukan hal yang membuat berpikir bahwa kita merupakan makhluk yang tidak bebas, hidup sangat tidak masuk akal, hidup tidak berguna, hidup tidak ada artinya, manusia didikte, dan sebagainya. Konflik mendasar antara apa yang kita inginkan dari alam semesta dengan apa yang kita temukan di alam semesta itulah perasaan absurd.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline