Lihat ke Halaman Asli

Jendela

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setengah sepuluh malam pada musim agustus yang dinginnya kala waktu terasa menusuk kulit lalu hinggap pada tulang, meringkuk tubuh ini di atas kasur tipis yang masih terbungkus plastik dari tadi sore selepas aktivitas hingga lupa akan membersihkan diri sekedar mandi, mungkin karena sudah terpaku pada satu
tujuan.. Rehat sejenak walau tertebus ketiduran empat jam lebih.
Selimut semakin kutarik menenggelamkan tubuh, tapi
lacur terjawab mata enggan masuk penjara kesementaraannya.

Aku coba bangkit dari
kerehatan yang menjurus pada kemalasan ini, water dispenser segera kutekan pada 0n sembari menanti kucuci tubuhku walau dingin harus melakukan perlawanan sengit.
Aku isap sebatang rokok di
selingi menyeruput mentah
dalam-dalam segelas kopi yang kusediakan, Dingin.. Inilah sarana paten untuk mengiringimu.

Remang temmaram melewati
gelap sepi berpijar lampu sepuluh watt menuju dini dalam hari, syahdu bau dupa penyejuk masih berseling hinggap bercampur dingin memaksa terhirup hidung yang mancung.
Tidak merisau..

Bulan sabit masih nampak di
atas pohon rimbun yang tingginya melebihi atap rumah berlantai dua, dari Jendela kaca.
Ku nikmati ku amati sesekali menyeruput koppi. Dingin mulai pergi..

Bali, august2010
July2014, #259




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline