Lihat ke Halaman Asli

Senyum dalam Keterbatasan: Antara Kebengisan dan Harapan dalam Cerpen "Senyum Karyamin" karya Ahmad Tohari.

Diperbarui: 22 Desember 2023   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.id

Ahmad Tohari adalah salah satu penulis karya sastra seperti novel, cerpen, maupun puisi yang tidak perlu diragukan lagi kemahirannya dalam membuat karya sastra. Dalam karyanya memiliki ciri khas dengan mengusung tema tentang kehidupan masyarakat di perdesaan, mengisahkan permasalahan sederhana tetapi penuh dengan ironi. Tentunya dengan ciri khas dan gaya penulisan Ahmad Tohari dalam karya sastranya selalu meninggalkan kesan bagi para pembacanya.

Senyum Karyamin adalah cerpen dengan terbitan pertama pada tahun 1989. Cerpen Senyum Karyamin dengan tebal 94 halaman yang berisi 13 judul cerpen ini menyajikan kehidupan perdesaan yang masih lugu, bersifat homogen, kental, dan sederhana. Dalam salah satu cerpennya yang berjudul "Senyum Karyamin" tersebut digambarkan karakter setiap tokoh dan karakteristiknya yang memiliki pekerjaan umum sebagai pengepul batu, nasi pecel, penagih hutang, hingga penagih pajak atau sumbangan.

Seperti yang diketahui, cerpen adalah cerita pendek yang bisa diselesaikan dalam sekali duduk. Namun, dibalik cerita pendek sederhana yang disajikan oleh Ahmad Tohari ada hal lain yang ingin disampaikan melalui cerpen Senyum Karyamin tersendiri.

Gramedia

Dalam cerpen Senyum Karyamin sendiri menceritakan kehidupan sehari-hari seorang tokoh utama yang bernama Karyamin berprofesi sebagai pengepul batu yang dideskripsikan dalam narasi cerpen. Penulis menjelaskan suasana, keadaan, latar, dan waktu dengan begitu detail atau rinci. Sehingga pembaca seolah-olah dapat membayangkan atau berimajinasi dan merasakannya sesuai yang dijelaskan atau dituliskan oleh penulis.

"Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali."

Seperti dalam kutipan di atas, dijelaskan bahwa Karyamin sedang memikul beban dua pikulan batu dipundaknya dengan hati-hati. Dalam cerpen tersebut diceritakan juga bahwa Karyamin pagi ini sudah tergelincir, tubuhnya rubuh, pikulan batu berserakan, menggelinding ke bawah sebanyak dua kali. Tak lama Karyamin kehilangan keseimbangannya lagi karena seekor burung yang melesat tepat di depan matanya. Karyamin terjatuh, untungnya ia berhasil mencengkram rerumputan, yang menyebabkan ia terduduk dan dapat menahan agar tak tergelincir lagi.

Karyamin memutuskan untuk pulang ke rumahnya seperti ucapan teman-temannya. Padahal ia pun tahu bahwa di rumahnya tidak apa-apa atau sesuatu yang bisa ia jadikan alasan untuk pulang. Namun, saat diperjalanan pulang Karyamin melihat si burung paruh udang. Digambarkan juga bahwa punggungnya berwarna biru, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Karyamin diceritakan ia mengomel sedikit iri terhadap burung tersebut, ia asalnya kesal sampai-sampai ingin membabat burung tersebut dengan pikulannya. Namun, niatnya itu ia urungkan karena ia pun membayangkan atau berpikir bahwa burung tersebut juga bisa saja sebagai orangtua yang sedang mencari makanan untuk keluarganya di rumah, sama seperti yang Karyamin lakukan yaitu ia pun berjuang untuk keluarganya.

Karyamin dan teman-temannya senang mencari hiburan dengan menertawakan diri mereka sendiri. Terlihat dalam narasi yang tertulis dalam kutipan cerpen tersebut.

"Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline