Lihat ke Halaman Asli

Albert

melakukan sesuatu

Jangan Buru-buru Mengeluh

Diperbarui: 21 Desember 2015   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak dari kita biasanya mengeluh ketika kepentingannya tergganggu, apalagi jika kepentingan tersebut berkaitan dengan pemanfaatan kepentingan umum. Kita pengguna jalan mengeluh ketika jalan yang kita lalui berlubang, padahal jalan itu belum ada setahun diperbaiki. Atau kita pengguna terninal mengeluh ketika terminal kita semrawut. Menunjuk yang paling mudah adalah mununjuk pemerintah untuk disalahkah.

Kalau kita lihat disekitar kita, tempat-tempat strategis sepeti telah dikuasai oleh para kapitalis. Tempat tersebut kini berlaku hukum pasar, barangsiapa memiliki modal, ia mampu memiliki tempat tersebut. Dan hampir semua ruang diperkotaan berlaku demikian. Dia yang tidak punya modal, akan disingkirkan dan semakin terpinggirkan, tak peduli ia memiliki tanah warisan nenek moyang. Proses pemindahan kepemilikan tersebut memang berlaku jual-beli. Tetapi ketimpangan kemampuan manajerial dan pengetahuan seringkali menyebabkan proses jual beli berjalan tidak sepadan. Belum lagi kebijakan sentralistik akan mendorong konsentrasi modal yang pada gilirannya akan menarik banyak orang berbondong pindah ke perkotaan. Yang terjadi kemudian adalah keterbatasan ruang yang diperebutkan oleh begitu banyak orang dan kapital. Hasilnya mudah ditebak, orang yang berkapitallah yang memiliki ruang dan lebih jauh, semakin banyak kapital semakin mampu membeli kenyamanan, termasuk kenyamanan tinggal dan berdagang dengan membeli tempat-tempat strategis.

Para perantau, sebagai konsekuensi dari kebijakan setralistik tersebut kemudian berebut pekerjaan pada sektor-sektor formal. Ketika sektor formal tidak mampu menampung, mereka beralih ke sektor informal. Ada juga perantau tersebut yang memang meniatkan diri pada sektor informal sedari awal. Ketika kapital terkonsentrasi, maka peredaran uang juga akan besar. Kondisi demikian akan menarik minat merantau untuk mencicipi tetesan dari peredaran uang tersebut, karena memanfg sektor informal cenderung lebih inklusif dari pada sektor formal. Tidak perlu lulusan sarjana untuk bisa berdagang bakso. Cukup dengan keterampilannya membuat bakso enak, penghasilannya bisa melebihi gaji kepala dinas di kampung halamannya. Lain hal dengan sektor formal yang biasanya mensyaratkan lulusan tingkat pendidikan tertentu. Kondisi demikian membawa konsekuensi-konsekuensi. Ketika sektor informal tidak mampu membeli atau menyewa tempat, maka mereka akan merambah ke berbagai tempat, terutama fasilitas publik seperti pinggir jalan dan trotoar. Atau semrawut asongan dan calo di terminal adalah karena sebab serupa. Kondisi tersebut tak pelak menimbulkan ketidaknyamanan yang seringkali kita keluhkan.

Sektor formalpun tak luput dari permasalahan. Buruh pabrik adalah contoh. Ketika kesejahteraan buruh kurang diperhatikan, maka tentu saja akan timbul gejolak, meskipun memang kesejahteraan tersebut bisa jadi subyektif. Kita sering mendengar berita demo dan mogok buruh. Saya kira buruhpun tak bodoh untuk meminta upah yang sedemikian tingginya yang mengakibatkan pabrik kurang efisien sehingga mengakibatkan phk dimana-mana. Meskipun juga sebagian besar buruh tidak memiliki kualifikasi pendidikan tinggi yang turut menjadi penentu kebijakan di negeri ini. Saya yakin, akses pengusaha untuk ke lingkaran kekuasaan lebih besar daripada akses buruh. Kalau sudah begini, demo dan mogok adalah senjata bagi mereka. Dan lagi-lagi, demo dan mogok seringkali mengganggu fasilitas publik yang membuat kita mengeluh. Jalan dan tol ditutup. Saya juga yakin, penghasilan sebagian besar buruh yang menutup tol tersebut masih belum cukup untuk membeli mobil pribadi untuk bisa mengakses tol. Artinya, dalam konteks ini tol bisa jadi adalah semacam simbol ketimpangan. Untuk memperbaiki infrastruktur tentu saja tidak harus dengan membangun tol.

Dengan kondisi demikian, kurang bijak kiranya jika kita buru-buru menghujat pedagang kaki lima dan buruh gara-gara mereka menyerobot atau mengganggu fasilitas publik. Hal ini adalah karena struktur sedangkan pemerintahlah pihak yang paling berkuasa untuk menciptakan struktur dengan kebijakan-kebijakannya. Kalau diliat juga, banyak kondisi yang ada pada penikmat kenyamanan yang tidak ada pada mereka, seperti latar belakang ekonomi keluarga, kondisi ekonomi, pendidikan dsb. Singkatnya bisa dikatakan jika latar belakang sebagian besar mereka kurang beruntung jika dibandingkan dengan para penikmat kenyamanan. Pemerintah juga tentunya tidak asal represesif terhadap aksi mogok dan pedagang kaki lima, tetapi harus lebih dari itu, yaitu melahirkan kebijakan-kebijakan cerdas yang pro rakyat secara sistemik. Disadari memang hal itu tidak mudah. Apalagi jika saat pra pemilu telah terjadi deal-deal dengan kapitalis yang notabene seringkali bertolak belakang dengan kepentingan rakyat. Rakyat adalah mayoritas dan kapitalis adalah sebagian kecil. Pemerintahan seperti ini adalah cacat sedari lahir. Oleh karenanya sikap kritis perlu senantiasa kita kedepankan agar mereka yang memerintah segera bertobat sebelum terlambat, jika tidak ingin terjadi chaos dan people power. Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline