Lihat ke Halaman Asli

Albert

melakukan sesuatu

Tradisi Mengganti Nama

Diperbarui: 6 Desember 2015   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi seorang Jawa, mengganti nama bukan hal aneh. Mengganti nama lazim dilakukan seorang laki-laki karena menikah atau sebab tertentu. Nama baru biasanya adalah nama tua yang terkadang sama sekali berbeda dengan nama sebelumnya. Seperti misal Ahmad yang berganti nama menjadi Darmodiprono ketika menikah dan kemudian menjadi Haji Muhammad Misbach selepas menunaikan ibadah haji. Beliau adalah seorang tokoh pergerakan radikal Indonesia.

Mengganti nama juga bisa dilakukan karena sebab tertentu. Seperti misal Soekarno yang sebelumnya bernama Koesno. Koesno yang sering sakit-sakitan, pada usia sebelas tahun namanya diganti oleh ayahnya menjadi Soekarno. Soewardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada usia empat puluh tahun, dengan menanggalkan gelar kebangsawanannya. Pangeran Diponegoro juga mempunyai nama kecil/muda bernama Ontowirjo. Di kampung halaman saya, penggantian nama lazim dilakukan selepas menikah.

Bisa jadi penggantian nama ini sarat dengan makna filosofis, seperti halnya pada kehidupan Jawa yang sarat dengan pemaknaan. Kalau saya coba untuk mengartikan, sepertinya penggantian nama ini semacam peneguhan semangat dan harapan baru. Seperti pada Haji Misbach, penggantian nama selepas ibadah haji bisa jadi adalah peneguhan semangat untuk memperjuangkan Islam.

Haji Misbach adalah seorang yang mencoba mengawinkan Islam dengan Komunisme. Dengan menanggalkan gelar bangsawan pada nama barunya, Soewardi sepertinya juga sedangkan meneguhkan perjuangannya untuk kaum bumiputera yang pada waktu itu menderita ditindas penjajah belanda (dengan huruf kecil).

Sayangnya saat ini mengganti nama tidak bisa begitu saja dilakukan. Mengganti nama memerlukan proses pengadilan, tidak seperti jaman dahulu. Sekarang, nama kecil atau nama lahir kemudian terbawa di dokumen-dokumen yang diterbitkan negara, seperti ijazah dan KTP. Seorang Diponegoro, yang bukan pangeran, tidak bisa dinamai sebagai Diponegoro begitu saja meskipun orang di kampungnya mengenalnya sebagai Diponegoro selepas menikah.

Mungkin kita bisa menitikberatkan pada substansi, bahwa si A memang bernama Diponegoro yang rajin kerja bakti di kampung tak peduli KTP nya masih bernama Suwarto, nama kecilnya. Akhirnya, kita bisa mengambil sisi positif dari kerumitan birokrasi (?) pergantian nama. Perbuatan yang menyangkut masyarakat banyak, akan lebih meneguhkan siapa diri kita sesungguhnya, dan itu lebih bernilai tentu saja daripada selembar kertas pengakuan dari negara.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline