Lihat ke Halaman Asli

Albert

melakukan sesuatu

Keteraturan

Diperbarui: 6 Desember 2015   19:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti jamak yang selama ini terjadi menjelang pemilu, bermacam “dagangan” ditawarkan. Dari yang kasat mata, mulai kaos sampai baliho yang konon katanya bisa merangsang birahi pertumbuhan ekonomi, sampai yang paling absurb sekalipun, berupa platform yang seakan selalu sama meskipun periode telah berbeda. Berbagai janji (yang katanya program) disusun. Ada yang menjual kegemilangan akademis. Ada yang menjual keyakinan feodal. Dan bahkan ada yang menjual “kajayaan “ masa lalu. Entah bagaimana kejayaan itu mereka tafsirkan.

Tentu saja semua bermula bagaimana masyarakat ini seharusnya. Ada yang bilang ia sebagaimana manusia yang senantiasa tumbuh dan pada akhirnya mati. Ia lahir, mulai barjalan dan pada akhirnya bisa berlari kencang, yang berarti manusia-manusia dalam masyarakat hidup sejahtera. Begitu kurang lebih. Apapun dan bagaimanapun itu, ia seharusnya tumbuh dengan memperhatikan darimana ia berasal.  

Manusia bukan mesin yang bekerja secara mekanis, apalagi ini kumpulan manusia. Bukan sekedar lingkungan sosial kultural, tentu saja lebih dari itu bahwa manusia memiliki sisi terdalam. Tak usah jauh membayangkan bahwa manusia memiliki sesuatu kondrati yang dinamankan fitrah. Yang jelas manusia butuh makan, butuh bercakap dan butuh berkreasi. Kata orang itulah kebebasan.

Disadari bahwa manusia ingin melakukan apa yang ingin ia lakukan. Tetapi juga bukan seperti itu tentu saja, dengan membiarkan manusia bagai hidup dibelantara, karena kondisi seperti itu bisa mengancam keberadaannya. Manusia disatu sisi menginginkan ia hidup. Itulah yang melahirkan hasrat keteraturan.

Hasrat keteraturan yang berlebihan bisa berakibat fatal. Apalagi nafsu menguasai hampir selalu ada pada setiap makhluk yang butuh makan. Kombinasi dua hal tersebut bisa melahirkan rezim despot yang tak peduli akan sesama. Nyawa bisa tak ada harganya bagi manusia semacam ini. Sudah banyak bukti yang bisa kita ambil pelajaran.

Dan pula, manusia ini seringkali memaksakan diri untuk selalu dituruti dalam bentuk indoktrinasi. Akal sehat bisa jadi hilang, karena senjatalah yang berkuasa. Otak atik logika dilakukan untuk melanggengkan singgasana. Apalagi jika kapital si pembuat onar ikut turus serta, akan semakin memperunyam keadaan. Ini satu tahap perkembangan barangkali. Apapun itu, yang jelas kondisi semacam ini harus diakhiri.

Hingga kemudian hasrat terdalam manusia menyadarkan. Sampai tahap ini, ia muncul karena keadaan, realitas, bukan yang lain. Bahwa keteraturan itu harus dicari dalam rupa yang berbeda. Jika totalitarian tak mampu menjawab kebutuhan itu, apalagi yang kita harapkan darinya? Ia mungkin akan muncul dalam berbagai rupa, memodifikasi dirinya untuk menjawab tantangan jaman.

Perubahan seperti itu akan memakan waktu lama. Jika itu yang terjadi, maka kita masih patut bersyukur, bahwa harapan tentang apa dan bagimana itu masih ada. Tetapi pada siapa kita musti berharap, jika tangan-tangan totaliter masih begitu kuat menceram bahkan sampai ke para cerdik cendikia. Padahal tugas para cendikiawan menurut Syariati adalah membangkitkan dan membangun masyarakat. Bagaimana bisa tugas mulia ini ditunaikan jika mereka masih tunduk pada kepentingan penindas, bukan rakyak banyak. Menurut Freire, kepercayaan kepada rakyatlah syarat wajib bagi perubahan revolusioner.

Sembari berharap, jika boleh, pada penguasa pengajaran tersadarkan untuk membuat pendidikan yang membebaskan. Setiap individu seharusnya membuat keteraturan bagi dirinya sendiri dengan selalu memupuk jiwa-jiwa yang revolusioner. Bukan untuk melahirkan kembali totalitarian, tapi sebaliknya, menumpas habis totalitarian dengan otonomi luas pada setiap individu. Jiwa revolusioner yang memiliki kemampuan berdialog satu sama lain itulah yang akan melahirkan keteraturan, bukan oleh aturan-aturan formal dan tetek bengeknya yang menjemukan.

Revolusioner, kata Aidit adalah satunya kata dengan perbuatan. Sehingga bisa dikatakan jiwa revolusioner adalah jiwa jujur yang melandasi suatu perubahan dalam rangka membebaskan manusia dari penindasan. Inilah yang pelik, mana yang terlebih dahulu antara membangun kesadaran atau menumbuhkan jika revolusioner. Keduanya saling berkaitan. Tetapi yang mula-mula harus ada adalah kesadaran. Kesadaran ini harus dikembangbiakkan bagaimanapun caranya. Para pionir harus bersedia berlelah-lelah untuk memperjuangkannya.

Para cendikiawan lah para pionir itu, karena seperti yang disunggung diatas, tugas cendikiawan adalah membangkitkan masyarakat. Dengan luasnya akses yang dimiliki para cendikiawan terhadap sumber-sumber ilmu pengetahuan, sudah selayaknya mereka tahu apa yang harus ia lakukan. Itulah mengapa ilmu-ilmu tersebut harus memiliki sentuhan ideologi, agar ia lebih merakyat dan lepas dari menara gadingnya. Islam bisa menjadi alternatif, yang oleh Cak Nur dikatakan Bolsyewik yang berTuhan. Itulah jembatan kita melakukan perubahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline