Lihat ke Halaman Asli

Re Ayudya

Psikoedukator_Konselor

Optimisme atau Toxic Positivity? Kenalilah Perbedaannya!

Diperbarui: 5 Januari 2022   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pernahkah kamu berkata "It's okay, I'm okay.", atau "Yes, of course. I'm great!" atau "Engga apa-apa. Aku baik-baik aja ko'.", tetapi  dengan sengaja mengabaikan perasaanmu yang sebenarnya yang sedang hancur, kacau balau dan tidak sedang baik-baik saja? Atau kamu berkata "Aku pasti bisa, aku harus kuat!", padahal sebenarnya kamu sedang merasa sangat lemah dan mulai putus asa?

Be aware! Jangan-jangan kita sudah melakukan toxic positivity terhadap diri sendiri?

Jika mau jujur, banyak dari kita yang kerap kali melakukan hal tersebut, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Hal tersebut kadang dilakukan karena merasa ada keharusan untuk selalu optimis dan kewajiban untuk selalu bersikap serta berpikir positif di segala situasi. Padahal ada perbedaan yang cukup signifikan antara optimisme dan toxic positivity. Dengan memahami toxic positivity, kita jadi belajar untuk memahami segala emosi yang ada di dalam diri kita.

Jadi, apa perbedaannya antara bersikap optimis dengan toxic positivity?

Optimisme melibatkan keyakinan akan kemampuan diri secara realistis dan proporsional, serta adanya proses mengantisipasi keadaan. Dengan optimisme, seseorang mengakui bahwa mungkin saja segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang diharapkannya, namun ada potensi dan pembelajaran untuk menjadi lebih baik di masa depan.

Orang yang optimis yakin bahwa kegagalan dan pengalaman buruk yang menimpanya tidak akan berlangsung selamanya, sehingga mereka tidak menyalahkan dirinya sendiri maupun orang lain. Orang yang optimis bukan berarti tidak pernah berpikir atau merasa negatif, mereka tetap bisa sedih, marah dan kecewa, tetapi mereka tidak membuang emosi dan pikiran negatif itu begitu saja. Mereka memilih untuk melihat permasalahan dari sudut pandang yang lebih menyeluruh. Mereka yakin dan percaya bahwa situasi buruk bisa saja berubah menjadi lebih baik, seraya tetap mengakui emosi-emosi negatif yang dirasakan.

Sikap optimis memang bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental kita, tetapi sikap optimis tanpa disertai empati akan menjadi toxic positivity. Sikap positif tidak selalu 'toxic' (racun), tetapi bisa berpotensi menjadi 'racun'.  

Toxic positivity muncul ketika seseorang merasa bahwa satu-satunya cara yang benar untuk menjalani hidup adalah dengan selalu bersikap dan berpikir positif. Mereka menuntut dirinya sendiri dan orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif, sehingga mereka akan menolak, membuang, mengabaikan, dan bahkan menumpuk emosi negatif yang sedang dirasakan.

Generalisasi berlebihan terhadap keadaan bahagia dan optimis yang menghasilkan penyangkalan, mengecilkan, dan menolak pengalaman emosi negatif merupakan toxic positivity. Sikap positif yang terlalu dipaksakan atau palsu, dapat berubah menjadi 'toxic' dan mendatangkan dampak  negatif seperti stres, frustasi, kecemasan, dan bahkan depresi. Toxic positivity menghambat kita untuk menghadapi realitas apa adanya karena tanpa disadari selalu berusaha menolak untuk menghadapi hal buruk yang sedang terjadi.

Ketika segala sesuatu dianggap baik dan secara membabi buta menyatakan bahwa semuanya baik (padahal tidak), maka ini bisa menjadi 'toxic'. Toxic positivity hanya memilih emosi-emosi positif dan mengabaikan emosi-emosi negatif yang dialami.

Berikut beberapa tanda toxic positivity :

  • Menyangkal dan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
  • Menghindari dan membiarkan masalah begitu saja.
  • Merasa bersalah ketika memiliki perasaan negatif.
  • Meremehkan dan tidak memvalidasi pengalaman emosional orang lain, misalnya dengan berkata "Masa kayak gitu aja nangis sih? Ayo, kamu harus tegar, ga boleh cengeng kayak gitu. Banyak-banyakin bersyukur aja mendingan. Masalahmu itu ga seberapa loh dibandingkan masalah yang sedang kuhadapi saat ini" (lalu malah sibuk menceritakan penderitaannya sendiri).
  • Mempermalukan atau menghukum orang lain yang mengekspresikan rasa frustasi atau segala sesuatu yang tidak positif. Misalnya memarahi anak yang menangis karena sedih kehilangan mainannya dengan berkata "Ga usah nangis! Diem ga? Anak laki-laki ga boleh nangis."
  • Menyingkirkan hal-hal yang mengganggu dengan alasan "It is what it is".
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline