Rokhmin Dahuri, MS
Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan -- IPB University
Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany
*Artikel Ini telah terbit pada Koran Sindo Edisi 29 Desember 2021.
Fakta empiris membuktikan, bahwa sejak era Imperium Romawi, Keemasan Umat Islam sampai sekarang, bangsa-bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat adalah mereka yang menguasai IPTEK dan mampu menghasilkan inovasi secara berkelanjutan.
Bukan negara yang melimpah kekayaan alamnya. Selanjutnya, penguasaan IPTEK dan kapasitas inovasi sangat bergantung pada kapasitas riset dan kualitas SDM nya. Sayangnya, hampir semua indikator kinerja yang terkait dengan riset, inovasi, dan kualitas SDM bangsa kita hingga kini masih rendah.
Kapasitas IPTEK Indonesia baru mencapai kelas-3 (technology-adaptor country), dimana lebih dari 70 persen kebutuhan teknologi nasional berasal dari impor. Sedangkan, negara maju adalah yang kapasitas IPTEK nya kelas-1 (technology-innovator country), lebih dari 70 persen kebutuhan teknologinya dihasilkan oleh bangsa sendiri (UNESCO, 2019).
Kapasitas inovasi kita menempati peringkat-85 dari 126 negara yang disurvei, dan pada urutan-7 di ASEAN. Kualitas SDM Indonesia yang tercermin pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia) pun baru mencapai 0,71, belum memenuhi syarat sebagai bangsa maju dengan IPM diatas 0,8.
Kita pun menghadapi darurat gizi buruk, dimana 27 persen anak mengalami stunting dan 30 persen menderita gizi buruk. Jika tidak segera diperbaiki, niscaya kita akan mewariskan generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.
Penyebab Ketertinggalan
Ada lima penyebab utama dari rendahnya kapasitas inovasi dan kualitas SDM Indonesia. Pertama, belum ada Peta Jalan Pendidikan dan Riset Nasional yang komprehensif dan benar yang diimplementasikan secara berkesinambungan. Setiap kali ganti Menteri, ganti pula kebijakannya.