Lihat ke Halaman Asli

Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Islam

Diperbarui: 30 Juni 2021   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sejak Revolusi Industri Pertama pada 1750-an, Kapitalisme sebagai mahzab ekonomi utama dunia telah memacu pertumbuhan ekonomi global rata-rata 3,5 persen per tahun. Dan, meningkatkan PDB Dunia dari  0,5 trilyun dolar AS pada 1753 menjadi 100 trilyun dolar AS pada 2019 (Bank Dunia, 2019).  Kapitalisme pun sukses menciptakan ekosistem kondusif bagi inovasi IPTEK yang telah melahirkan empat gelombang Revolusi Industri.  Sejak tahun 2000, dunia memasuki Revolusi Industri Keempat (Industry 4.0) yang berbasis pada teknologi digital,  Artificial Intelligence, Internet of Things, Bioteknologi, dan Nanoteknologi.  Pesatnya kemajuan tekonologi telah membuat ekonomi dunia semakin berkembang dan produktif. Kehidupan keseharian manusia pun semakin sehat, mudah, murah, cepat, dan nyaman. 

            Namun, hingga kini belum semua negara-bangsa di dunia sudah maju dan makmur (high-income country) dengan PDB per kapita diatas 11.750 dolar AS.  Dari 194 negara anggota PBB, baru 55 negara (28%) yang telah maju dan makmur, 103 negara (53%) berstatus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income country) dengan PDB per kapita antara 2.000 – 11.750 dolar AS, dan 36 negara (19%) masih miskin (poor country) dengan PDB per kapita kurang dari 2.000 dolar AS (UNDP, 2018).  Pada 2020, PDB per kapita Indonesia baru mencapai 4.000 dolar AS.  Ironisnya, dewasa ini sekitar 1 milyar (14%) penduduk dunia masih fakir dengan pengeluaran kurang dari 1,25 dolar AS per hari, dan sekitar 3 milyar warga dunia (40%) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2 dolar AS per hari. Sekitar 1,3 milyar warga dunia hidup di pemukiman yang tidak teraliri jaringan listrik; dan 2,6 milyar orang hidup di pemukiman dengan sanitasi buruk (UNDP dan Bank Dunia, 2020).

Kapitalisme juga telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi semakin melebar.  Pada tahun 1800, perbedaan total PDB antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin di dunia sebesar 90 persen.  Pada 2000 perbedaan tersebut meningkat secara dramatis menjadi 750 persen.  Kemudian pada 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 50 persen penduduk dunia yang termiskin. Pada 2017 jumlah orang terkaya dengan total kekayaan sama dengan yang dimiliki oleh 50 persen penduduk dunia termiskin, berkurang menjadi hanya 8 orang (Oxfam International, 2018).

Yang lebih mencemaskan, Kapitalisme juga telah menimbulkan pencemaran, degradasi ekosistem alam, terkikisnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss), Perubahan Iklim Global, dan berbagai jenis kerusakan lingkungan lainnya. Intensitas kerusakan lingkungan tersebut sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem bumi dalam mendukung pembangunan ekonomi, dan bahkan kehidupan umat manusia itu sendiri (Sach, 2015; Al Gore, 2017). 

Maka, tantangan utama peradaban di abad-21 ini adalah bagaimana membangun ekonomi dan mendayagunakan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, menciptakan lapangan kerja, dan menyejahterakan seluruh warga dunia.  Dan, secara simultan merestorasi kerusakan lingkungan, serta menjaga daya dukung dan kualitas lingkungan bumi sebagai tempat tinggal kita bersama yang lebih baik dan berkelanjutan.

Akar permasalahan

            Sejatinya upaya global untuk menanggulangi kerusakan lingkungan dimulai sejak Konferensi Dunia Pertama tentang Pembangunan dan Lingkungan yang diprakarsai oleh PBB pada 5 Juni 1972 di Stockholm, Swedia.  Sejak saat itu, hampir semua negara di dunia mendirikan Kementerian Lingkungan Hidup dan memiliki kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) untuk mengharmoniskan pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Pada Juni 1992 PBB menyelenggarakan Konferensi Dunia Kedua tentang Pembangunan dan Lingkungan di Rio de Janeiro, Brazil atau dikenal dengan ’the Rio Earth Summit’.  Konferensi ini menghasilkan tiga kesepakatan global, yakni the UN Framework Convention on Climate Change, the Convention on Biodiversity, dan the UN Convention to Combat Disertification.  Pada September 2000 PBB mendeklarasikan the Millennium Development Goals (MDGs) untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan global sebesar 50 persen pada 2015.  Karena banyak target dari ketiga Konvensi Lingkungan Global itu tidak tercapai.  Maka, pada  Juni 2012 PBB kembali mengadakan Konferensi Dunia Ketiga tentang Pembangunan dan Lingkungan di Rio de Janeiro, atau dikenal dengan the Rio+20 Summit.  Konferensi ini menghasilkan dokumen kesepakatan berjudul ’The Future We Want’.  Sebagai kelanjutan dari MDGs, PBB pun berkomitmen untuk mewujudkan 17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals = SDGs) pada 2030.

Setelah enam tahun pelaksanaan SDGs, beberapa target seperti penurunan angka kemiskinan dan kelaparan sudah mulai membuahkan hasil.  Meskipun sejak Pandemi Covid-19 pada Desember 2019 kedua masalah global itu membengkak lagi.  Tetapi, yang mengkhawatirkan adalah bahwa berbagai macam kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, biodiversity loss, dan pemanasan global justru semakin parah.  Pada 2020 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah peradaban manusia. Bila laju emisi CO2 seperti sekarang, suhu bumi bakal meningkat sebesar 1,50C pada 2030 dibandingkan sebelum Revolusi Industri Pertama.  Padahal, bila peningkatan suhu bumi lebih dari 20C, maka dampak negatif akibat pemanasan global (seperti naiknya permukaan laut, gelombang panas, cuaca ekstrem, kebakaran hutan, dan ledakan wabah penyakit) akan sulit atau tidak bisa ditanggulangi dengan IPTEK yang ada sekarang (IPCC, 2019; PBB, 2021).

Pertanyaannya kemudian, mengapa upaya mondial dalam mengatasi kerusakan lingkungan sampai sekarang belum membuahkan hasil seperti  yang kita harapkan?.  Karena selama ini hampir semua kebijakan dan program penanggulangan kerusakan lingkungan hanya menyentuh fenomenanya, bukan akar masalahnya.  Contohnya, dalam upaya untuk mencegah pemanasan global, negara-negara industri maju memberikan dana hibah  ’ala kadarnya’ kepada negara-negara berkembang (miskin). Dengan syarat, negara-negara berkembang mengurangi emisi CO2 secara signifikan. Tetapi, negara-negara industri maju sendiri tidak mau mengurangi emisi CO2.  Saat ini negara-negara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18% penduduk dunia mengkonsumsi sekitar 70% total konsumsi energi dunia, dan 87% total energi yang mereka gunakan berupa energi fosil.  Rata-rata laju emisi CO2 negara-negara industri maju sekitar 10 ton perkapita, dan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 20 ton perkapita.  Sedangkan, negara-negara berkembang rata-rata hanya 1 ton perkapita, dan Indonesia baru 0,5 ton perkapita (IPCC, 2019).  Ketidak-adilan iklim inilah yang merupakan  ‘biang kerok’ dari pemanasan global. Contoh lain adalah moratorium penggunaan alat tangkap ikan pukat hela dan pukat tarik di negara yang tingkat penganggurannya tinggi, tanpa memberikan solusi alternatifnya. Maka, nelayan pun melawan pemerintah, alias tidak mematuhi regulasi tersebut.

Akar masalah kerusakan lingkungan yang terjadi di suatu wilayah (Kabupaten, Propinsi, Negara, atau Dunia) adalah manakala tingkat permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan melampaui Daya Dukung Lingkungan (DDL) dari wilayah tersebut.  Contohnya, pencemaran perairan Teluk Jakarta yang terjadi sejak 1980-an itu, karena laju buangan limbah dari berbagai aktivitas manusia yang masuk ke dalam Teluk lebih besar ketimbang kapasitas asimilasi Teluk Jakarta untuk menetralisir limbah tersebut. Pemanasan global terjadi sejak 1980-an, karena kemampuan atmosfer untuk menetralisir CO2 dan GRK (Gas Rumah Kaca) lainnya terlampaui oleh laju emisi GRK tersebut.  Overfishing dan kepunahan jenis ikan terjadi, karena tingkat penangkapan ikan melebihi potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield) ikan suatu ekosistem perairan. Demikian juga halnya dengan kerusakan hutan (deforestasi) itu terjadi, karena kita menebang pohon hutan melebihi kemampuan ekosistem hutan dalam menghasilkan pohon per satuan waktu, menebang pohon berukuran lebih kecil dari ukuran lestari, dan mengkonversi hutan lindung untuk perkebunan, pertambangan, dan kegiatan ekonomi lainnya.

Nilai-nilai Islam

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline