Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development), upaya kita bersama untuk mewujudkan Indonesia maju, adil-makmur, dan berdaulat (cita-cita Kemerdekaan NKRI) sungguh berada di persimpangan jalan (at the cross road).
Di satu sisi, kita masih harus meningkatkan intensitas pembangunan, pemanfaatan SDA (Sumber Daya Alam), dan industrialisasi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan rekreasi), menciptangan lapangan kerja, mensejahterakan rakyat, dan meningkatkan status kita untuk menjadi bangsa maju dan makmur.
Pasalnya, hingga tahun lalu Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah-bawah, dengan pendapatan kotor nasional (GNI) sebesar 3.920 dolar AS perkapita, belum menjadi negara makmur (high-income country) dengan GNI diatas 12.165 dolar AS perkapita (Bank Dunia, 2019).
Dengan garis kemiskinan Rp 410.000/orang/bulan, rakyat miskin masih 25,6 juta orang (9,6% total penduduk), dan yang rentan miskin (pengeluaran per bulan diatas Rp 410.000 -- Rp 652.500) sebanyak 69 juta jiwa (BPS, 2019).
Bila mengacu pada garis kemiskinan Bank Dunia, 2 dolar AS//orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000) per orang per bulan, maka jumlah rakyat miskin Indonesia masih sangat sangat besar, sekitar 100 juta orang (37,5% total penduduk).
Status gizi anak-anak kita pun sangat mencemaskan, dimana sekitar 30 persen mengalami stunting, dan 33 persen menderita gizi buruk (Kemenkes, 2019). Membiarkan kondisi gizi buruk yang melanda anak-anak kita, hanya akan mewariskan generasi masa depan yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif -- 'a lost generation'.
Yang lebih memprihatinkan, pandemi Covid-19 ini telah menyebabkan jumlah pengangguran dan rakyat miskin kian membludak, lebih dari 15 juta orang (Kemenaker, 2020).
Lebih dari itu, untuk mengeluarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah, menjadi negara maju dan makmur, diperlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7 persen per tahun selama sepuluh tahun (Mc Kinsey Global Institute, 2012).
Di sisi lain, kerusakan SDA dan lingkungan, baik yang terjadi di daratan maupun di lautan, begitu masif dan meluas. Kerusakan lingkungan di beberapa wilayah (seperti DKI Jakarta) sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem alam dalam mendukung pembangunan ekonomi.
Sebelum pandemi virus corona, kualitas udara DKI Jakarta merupakan yang terburuk ketiga diantara kota-kota sedunia. Sungai Citarum menjadi sungai yang paling tercemar sejagat raya (UNEP, 2018). Kehilangan hutan primer Indonesia merupakan yang terbesar ketiga di dunia, sekitar 325.000 ha per tahun, setelah Brazil dan Kongo (Global Forest Watch, 2020).
Kendati tidak separah di darat, ekosistem laut di beberapa wilayah padat penduduk dan tinggi intensitas pembangunannya, seperti di sekitar Medan, Batam, dan sebagian kawasan Selat Malaka, Pantura, perairan pesisir antara Balikpapan dan Bontang, Pantai Selatan Sulawesi, dan muara Sungai Aijkwa di Papua, pun telah mengalami pencemaran yang cukup berat.