Lihat ke Halaman Asli

RD Putri

A learner.

Perempuan dengan Kodratnya, Patriarki atau Berbakti?

Diperbarui: 13 Agustus 2020   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi istri. (sumber: freepik.com)

Keseteraan dalam rumah tangga saat ini menjadi hal yang paling banyak dibicarakan. Seorang perempuan jika sudah menjadi istri dikatakan memiliki kodrat untuk patuh dan menjadi penopang setia suami dalam ranah domestik. Sementara suami memiliki kodrat untuk melakukan aktivitas yang produktif (mencari nafkah) untuk keluarganya. Kondisi ini melahirkan sebuah sistem patriarki dalam keluarga, di mana suami memiliki otoritas terhadap istri, anak-anak dan harta benda.

Kodrat sebagai pemberian Tuhan yang diberikan pada manusia dijelaskan tidak dapat diubah (mutlak) dan melekat pada pada diri seseorang. Manusia dinyatakan bebas saat dia dilahirkan namun pada proses-prosesnya dia akan terbelenggu dengan kodratnya. Sebagai contoh, setiap perempuan terlahir bebas (born with freedom) dan kelak perempuan itu sendiri yang akan menentukan pilihan seperti apa nanti ia akan menjadi manusia karena perempuan tidak serta-merta dilahirkan sebagai pelayan laki-laki tapi yang menjadikannya adalah patriarki.

Perempuan pada hakikatnya memiliki kodrat mengandung, melahirkan, menyusui, dan menstruasi karena hal tersebut tidak dapat dipindahtangankan kepada laki-laki. Makna kodrat secara empiris yang dikemukakan oleh orang tua, agama maupun pendidik selalu menasehati bahwa perempuan tidak boleh melupakan kodratnya. 

Stigma yang melekat di masyarakat menyatakan bahwa kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga yaitu mengurus sumur, dapur, dan kasur. Perkara urusan domestik nyatanya bukan hanya milik seorang istri namun juga suami bahwa perempuan dan laki-laki berbagi peran dalam kehidupan domestik.

Nilai-nilai yang masih sangat kental di masyarakat di mana status quo perempuan sebagai pelayan masih bertahan hingga sekarang menjadikan keadilan dan kesetaraan gender dalam rumah tangga masih sulit ditemukan. 

Perempuan yang menjadi seorang ibu dan bekerja memiliki peran ganda dalam lingkungan keluarga. Mereka memiliki tanggung jawab domestic dan peran sosial. Stigma yang muncul di masyarakat ketika seorang istri lebih memilih bekerja dibanding menjadi ibu rumah tangga secara penuh menjadikan perempuan warga kelas dua dalam the Second Sex, di mana perempuan tidak memiliki kebebasan dan kesetaraan. 

Melepaskan peran domestik perempuan di lingkungan keluarga bukanlah hal yang mudah karena stigma ini sudah tertanam di alam bawah sadar laki-laki maupun perempuan. Ujaran stereotip seperti "Perempuan kok lebih memilih bekerja dibanding mengurus suami/keluarga" atau "Istri harus bisa masak" akan sangat sering dijumpai.

Mengurus rumah tangga merupakan peran perempuan non-kodrati karena kemampuan tersebut dapat dilakukan oleh permpuan atau laki-laki. Contohnya memasak, sebagai salah satu basic life skills kemampuan ini harus dimiliki semua orang, tidak memandang gender laki-laki atau perempuan, sebagai cara bertahan hidup karena kita tidak akan pernah tahu keadaan nanti yang mengharuskan kita bisa memasak. Oleh karena itu, seharusnya tugas memasak di rumah merupakan urusan setiap anggota keluarga.

Dengan demikian, kutipan yang diberikan oleh Pidi Baiq "Kenapa istri harus pintar masak? Ini kan Rumah Tangga, bukan Rumah Makan." benar adanya. Karena baik istri maupun suami harus bisa memasak.

Karenanya jika seorang perempuan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya dengan mengabdi, tunduk, dan patuh kepada suami, itu merupakan pilihannya sebagai bentuk bakti. Namun, ketika mengabdi, tunduk, dan patuh dikatakan adalah kodrat perempuan, itu tidak benar karena itu adalah pilihan pribadi seorang perempuan bukan kewajiban seluruh perempuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline