Mari kita bergembira, suka ria bersama
Hilangkan sedih dan duka, mari nyanyi bersama
Lenyapkan dukalara, bergembira semua!
La la la la la la la, mari bersuka ria!
Ada yang masih ingat lagu ini? Kebanyakan dari kita mungkin lupa karena belum lahir saat lagu ini dirilis. Karya musik berirama Lenso ini memiliki judul "Bersuka Ria". Dirilis pada tahun 1965, lagu ini digubah oleh dua orang. Jack Lesmana mengkomposisi musiknya, sementara Bung Karno menulis liriknya. Iya, Sukarno sebagai Presiden RI menulis langsung setiap kata.
"Saja restui. Setudju diedarkan, Soekarno 14/4 '65," tulis Bung Besar di sampul belakang (Wanhar dalam tirto.id, 2014). Lantas, mengapa Presiden Sukarno menyetujui peredaran lagu ini? Ternyata, lagu ini bukan hanya sarana hiburan rakyat semata. Dia juga menjadi sarana pendidikan politik yang mudah diterima akar rumput.
Alasan ini tidak mengherankan. Era Demokrasi Terpimpin menjadikan politik sebagai panglima. Semua masalah bangsa berusaha diselesaikan dengan retorika politik. Dalam kasus ini, retorika politik diberikan secara sederhana, implisit, dan sarat akan pendirian politik. Apa saja retorika politik yang terkandung?
Dalam rangka menjawab pertanyaan ini, mari kita kupas masing-masing bagian dari lagu ini. Meski terdengar sederhana, namun maknanya sungguh kompleks. Kompleksitas inilah yang memberikan kita wawasan tentang perspektif Demokrasi Terpimpin terhadap berbagai persoalan.
Siapa bilang Bapak dari Blitar?
Bapak kita dari Prambanan