Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

Urgensi Budaya Menabung: Refleksi dari Sejarah Kita

Diperbarui: 30 Juli 2020   11:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: oaken.com

Rajin menabung pangkal kaya. Itulah yang selama ini selalu kita ajarkan. Kini, munculnya berbagai instrumen investasi baru yang terjangkau membuat pepatah ini seakan sirna. Bahkan, salah satu artikel menggunakan tajuk "Menabung Bisa Bikin Bangkrut". Artinya, tingkat pengembalian dari menabung sudah dikalahkan oleh inflasi.

Buat penulis, disrupsi ini harus diakui. Akan tetapi, makna dari pepatah tersebut tidak sirna. Dia malah berevolusi menuju interpretasi baru. Lebih rinci lagi, arti "rajin menabung" bukan lagi diambil secara harafiah. Sekarang, "rajin menabung" memiliki makna "konsisten melakukan budaya menabung".

Apa itu budaya menabung (savings culture)? Istilah ini merujuk kepada kebiasaan individu sebagai anggota masyarakat untuk menyisihkan sebagian pendapatan siap pakai (disposable income) untuk penggunaan masa depan (Abel dalam herald.co.zw, 2015). Artinya, tidak 100% dari pendapatan digunakan untuk konsumsi saat ini. Ada yang disimpan dan dikembangkan untuk masa depan.

Penggunaan masa depan sendiri ada berbagai macam. Ada yang ditujukan untuk kebutuhan jangka pendek seperti dana darurat. Selanjutnya, ada pula yang diarahkan menuju tujuan jangka menengah seperti dana pendidikan. Terakhir, ada yang digunakan untuk tujuan jangka panjang seperti dana pensiun.

Pemenuhan ketiga tujuan memerlukan instrumen yang berbeda. Semakin panjang horizonnya, semakin besar resiko yang harus diambil. Semakin besar resikonya, semakin tinggi potensi pengembalian/return yang diperoleh.

Rekening tabungan, deposito, dan reksadana pasar uang cocok untuk tujuan jangka pendek. Tujuan jangka menengah dapat dipenuhi dengan instrumen pendapatan tetap seperti obligasi dan reksadana pendapatan tetap. Lantas, tujuan jangka panjang bisa dicapai dengan saham dan reksadana saham.

Klasifikasi dan diversifikasi ini tidak jatuh dari langit. Kita mampu melakukannya sekarang karena ada disrupsi yang terjadi pada sektor keuangan. Disrupsi ini dipicu oleh rangkaian peristiwa di masa lalu. Maka dari itu, kita harus mengenal sejarah menabung di negeri ini.

Bank pertama di Nusantara yang menyediakan jasa simpanan adalah De Javasche Bank (DJB). Dalam Oktroi pertamanya (1828-1838), DJB diberikan hak untuk menghimpun dana masyarakat. Salah dua dari penghimpunan itu adalah rekening koran dan deposito. Singkat cerita, bank ini dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) pada tahun 1951 (Gischa dalam kompas.com, 2020).

Pada masa Orde Lama, instabilitas ekonomi membuat tabungan kurang berkembang. Pada era ini, inflasi yang tinggi dan ketidakpastian kebijakan ekonomi membuat orang takut menabung. Bahkan, sempat dilakukan sanering (pemotongan nilai uang) pada tahun 1952, 1959, dan 1966. Tindakan ini membuat nilai tabungan rakyat berkurang lebih dari setengah (Raditya dalam tirto.id, 2018).

Singkat cerita, saga ini diakhiri dengan kudeta militer yang memulai era Orde Baru. Pada era ini, kebijakan ekonomi mulai dikelola dengan cara yang sekolahan. Salah satu unsur pengelolaan itu adalah menggunakan tabungan untuk mendanai pembangunan.

Unsur ini diimplementasikan oleh Gubernur Bank Indonesia 1966-1973, Radius Prawiro. Pada tahun 1969, Bank Indonesia meluncurkan program Tabungan Berhadiah. Intinya, tabungan ini adalah semacam deposito berjangka dengan hadiah menarik. Melalui program ini, diharapkan masyarakat berpenghasilan rendah akan tertarik untuk menabung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline