Cancel Culture dan Dunia Ala Sinetron
Pernah mendengar istilah cancel culture? Jika pembaca adalah warga aktif dunia maya, pasti tahu istilah ini. Kini, cancel culture sedang merebak di media sosial. Dia sedang ramai dibahas dan dilakukan oleh jutaan warga media sosial. Lantas, apa arti istilah ini?
Cancel culture adalah kecenderungan untuk menarik dukungan terhadap figur publik/korporasi ketika yang bersangkutan menyatakan sesuatu yang ofensif/bertentangan (dictionary.com, 2020).
Artinya, pihak tertentu diboikot habis-habisan setelah menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan pihak lain. Biasanya, pertentangan ini terjadi secara politik maupun personal.
Kini, dua manifestasi cancel culture ini sedang membara. Bedanya, cancel culture politik melakukan aksinya di lapangan. Sementara, cancel culture personal cenderung terjadi di media sosial.
Aksi penghancuran berbagai patung di Inggris dan Amerika Serikat adalah contoh cancel culture politik. Patung yang merayakan kehidupan tokoh yang dianggap kontroversial dirusak, bahkan ditumbangkan oleh sekelompok orang. Umumnya, kelompok tersebut adalah provokator yang ikut berdemonstrasi menuntut keadilan rasial.
Di Amerika Serikat, patung-patung Christopher Colombus dipenggal, bahkan dirobohkan. Selain itu, patung-patung pemimpin dan jenderal Confederate States of America seperti Jefferson Davis dan Albert Pike juga menjadi sasaran. Mengapa? Prinsip dan tindakan mereka di masa lalu dianggap rasis dan mengekspos superioritas kulit putih (Taylor dalam theatlantic.com, 2020).
Hal yang sama juga terjadi di Inggris. Patung filantropis dan pedagang budak (slave trader) Imperium Britannia, Edward Colston ditenggelamkan ke laut oleh demonstran (bbc.com, 2020). Bahkan, patung Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris selama Perang Dunia Kedua dicoret dengan tulisan was a racist (Dabashi dalam aljazeera.com, 2020).
Bagaimana dengan negeri kita? Sejak Orde Baru, banyak pejuang kemerdekaan dari kiri jalan yang di-cancel dari sejarah kita. Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia menjadi salah satu contoh paling nyata.
Setelah Beliau dieksekusi pada tahun 1949 sampai Orde Baru berakhir, Beliau seakan "hilang" dari diskursus publik. Setelah Reformasi bergulir, barulah nama Beliau bangkit kembali di benak kita.