Penguasa, penguasa! Berilah hambamu uang!
Beri hamba uang! Beri hamba uang!
Pembaca yang berusia di atas 30 tahun pasti tahu penggalan reff di atas. Lagu ini adalah ciptaan Iwan Fals yang berjudul "Pesawat Tempurku". Diluncurkan pada tahun 1988, lagu ini menjadi bagian dari hidup jutaan orang. Bahkan, penulis sebagai post-millennial sudah mendengarnya sedari kecil.
Tentu saja reff lagu ini ikonik. Akan tetapi, bukan bagian ini yang paling penulis ingat. Justru, verse ketiga lagu ini menjadi bagian yang membekas di benak penulis. Begini bunyinya:
Oh, ya, andaikata dunia tak punya tentara
Tentu tak ada perang yang banyak makan biaya
Oh, oh, ya, andaikata dana perang buat diriku
Tentu kau mau singgah bukan cuma tersenyum
Dulu, ketika penulis masih polos, verse ini tidak memiliki arti signifikan. Dia hanyalah sebuah ocehan kosong seorang penganggur di siang bolong. Ternyata, proses pembelajaran membawa penulis menuju persepsi yang berbeda. Ternyata, Bang Iwan menggambarkan sebuah trade-off yang panas.
Trade-off ini terjadi antara belanja negara pada bidang pertahanan (defence) dan jaminan kesejahteraan (welfare). Para ekonom memanggilnya sebagai guns and butter. Pistol dan mentega. Apa artinya?
Guns and butter adalah istilah yang menggambarkan adanya keterbatasan anggaran negara. Sehingga, pemerintah harus menentukan prioritas antara belanja pertahanan dan jaminan kesejahteraan. Frase ini dicetuskan oleh Menteri Luar Negeri AS, William Bryant pada tahun 1916. Beliau menggunakan istilah ini karena tidak setuju dengan belanja federal yang terlalu tinggi untuk memproduksi mitraliur (Farley dalam investopedia.com, 2020).
Bahkan, istilah ini diturunkan sampai ada guns and butter curve. Berikut adalah gambarnya:
Bentuknya sama dengan Production Possibilities Frontier (PPF). Mengapa? Konsep yang diaplikasikan sama. Ada keterbatasan sumber daya yang tersedia dan pemerintah harus menentukan prioritasnya.