Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

Kapitalisme Imlek di Indonesia

Diperbarui: 25 Januari 2020   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://batam.tribunnews.com/

Selamat Tahun Baru Imlek bagi pembaca sekalian yang merayakan. Semoga tahun baru ini membawa hoki bagi Anda semua. Penulis berharap semoga tahun tikus ini membawa optimisme dan keberuntungan baru bagi bangsa Indonesia. Amin.

Hore, Imlek datang! Eksklamasi ini dinyatakan oleh hampir semua kalangan di Indonesia. Tidak hanya kalangan keturunan Tionghoa saja yang bergembira. Orang-orang dari suku lain juga ikut bersemarak menyambutnya. Ada penyambutan diskon, promo, oleh-oleh, kartu ucapan, dan lain sebagainya.

Menjelang Imlek, banyak pusat perbelanjaan mengadakan diskon dan promo besar-besaran. Begitu pula dengan berbagai online marketplace. Promo barang-barang yang berhubungan dengan imlek menyebar bagai api yang membakar semak-semak. Cepat sekali menyebar dari media sosial dan mulut ke mulut. Terutama di antara kaum ibu yang gemar memburu diskonan.

Selanjutnya, bertukar oleh-oleh/exchanging gifts juga sering dilakukan. Sampai saat ini, keluarga penulis masih menerima parcel dan hadiah-hadiah lain dari berbagai pihak. Begitu pula sebaliknya. Dan yang memberikan atau menerima hadiah tidak terbatas pada kaum keturunan Tionghoa saja. Ada pula kaum non-Tionghoa yang memberikan atau menerima hadiah dari keluarga penulis.

Terakhir, kartu ucapan yang beragam juga sampai ke tangan kami yang merayakan. Ada yang inspiratif, antik, unik, bahkan jenaka. Penulis sendiri senang melihatnya. Menerimanya (baik bentuk fisik maupun dari media sosial) juga membuat penulis merasa diapresiasi. Tandanya ada yang peduli terhadap traditional heritage kami.

Namun, sadarkah kita? Bahwa ketiga kegiatan di atas menciptakan sebuah dinamika ekonomi baru? Penulis menyebutnya sebagai Kapitalisme Imlek. Sebuah peningkatan dari aktivitas pasar pada masa pra-Imlek, saat Imlek, dan pasca-Imlek. Penyebabnya adalah meningkatnya permintaan konsumen karena kebutuhan dan diskon/promo. Sehingga, sinyal harga dan permintaan membuat produsen mendorong produksinya. Lantas, jumlah penjualan barang/jasa dan transaksi yang bertambah menjadi buah dari Kapitalisme Imlek.

Ini baru dari persiapan dan kebiasaan masyarakat Indonesia pra-Imlek. Saat Imlek, bahan bakar dari kapitalisme itu sendiri justru dibagikan. Apakah itu? Isi dari Angpau. Alias uang.

Setiap berkunjung ke rumah sanak saudara, penulis pasti diberikan angpau. Begitu pula dengan sepupu-sepupu lain yang belum menikah. Kami semua tentu senang menerimanya. "Duit, tuyul juga doyan," tandas Babe Sabeni. 

Tradisi ini memiliki tiga efek ekonomi. Pertama, jumlah uang yang bersirkulasi meningkat. Kedua, kecepatan sirkulasi uang juga semakin cepat. Ketiga, terjadi transfer daya beli dari keluarga yang sudah berkeluarga kepada kami yang single/jomlo ini.

Sebagai ilustrasi, adanya uang angpau membuat adik penulis ingin membeli macam-macam. Mulai dari mainan terbaru sampai alat menggambar paling mutakhir. Begitu pula dengan sepupu-sepupu penulis yang lain. Bedanya, sepupu yang lebih dewasa sudah mulai berpikir untuk menabung/berinvestasi di berbagai instrumen dengan uang angpau.

Intinya, uang angpau membuat potensi transaksi yang sebelumnya hanya wacana menjadi kenyataan. Dengan kata lain, ini mengubah pembeli absolut menjadi pembeli potensial dan efektif. Pembeli efektif inilah yang mendorong laju transaksi ekonomi pasca-Imlek. They wanted to treat themselves with this money.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline