Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

KLanisme, Nikmati Musik Sambil Asah Literasi

Diperbarui: 1 Januari 2020   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: iradiofm.com

Selamat tahun baru 2020 bagi para Kompasianer sekalian!

Masih ingat dengan KLa Project? Kebanyakan dari kita pasti masih ingat. Grup musik yang digawangi oleh Katon Bagaskara, Romulo Radjadin, dan Adi Adrian ini adalah salah satu legenda dalam kancah musik Indonesia.

Lagu-lagu mereka yang ikonik meresap ke dalam hati khalayak.  Penulis adalah salah satunya. Mengapa penulis begitu getol dengan grup ini?

Pertama, suara Katon sebagai vokalis dan Lilo sebagai backing vokal yang ciamik. Sebagai vokalis, Katon punya suara yang padat, dinamis, dan penuh tenaga jika mencapai nada-nada tinggi.

Selain itu, Lilo dengan suara tingginya could go into heights tanpa upaya yang berlebih. Bahkan, puncak-puncak nada dapat diraihnya dengan effortless. Buktinya? Dengar saja lagu Meski T'lah Jauh yang dibawakan Lilo.

Kedua, komposisi musik yang brilian. Meski penulis bukan ahli musik, namun mendengar musik dalam setiap lagu KLa membawa kesan tersendiri. Transisi dalam setiap lagunya bagai jembatan emas.

Sebuah konektor antara akumulasi emosi di bait dan letupan emosi di refrain. Dengan transisi yang gold standard tersebut, bait dan reff dalam lagu-lagunya menjadi sangat mengesankan.

Ketiga, video klip yang unik nan kreatif. Pembaca pasti tertarik sekaligus bingung ketika menontonnya. "Dari mana mereka mendapatkan ide seperti ini?" Contoh-contohnya banyak. Mulai dari foto Memes yang diceplok telur mata sapi di Tak Bisa Ke Lain Hati, tema futuristis di Romansa, dark romance pada video klip Terpurukku di Sini, dan lain sebagainya.

Keempat, lirik lagu yang sangat puitis dan ekspresif. Inilah alasan utama penulis menggemari grup band dari Tebet, Jakarta Selatan ini. Kata-kata yang digunakan sungguh kompleks dan mendalam.

Dengan kata lain, vocabulary yang digunakan memang kelas berat. Namun, beratnya kata yang digunakan berhasil mencakup rasa/emosi yang mendalam. Lihat saja larik-larik berikut:

"... Menggigil palung hati, dipelukan bimbang jawabmu..."

"... Merintih sendiri ditelan deru kotamu..."

"... Tercipta nelangsa, merenggut sukma..."

Bayangkan saja, mereka menggunakan "menggigil palung hati" untuk menggambarkan "sakit hati" di lagu Terpurukku Disini. Selanjutnya, pada lagu Yogyakarta, "ditelan deru kotamu" menggantikan istilah "kebisingan".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline