Hari kemerdekaan semakin dekat. Sembilan hari lagi, kita akan merayakan HUT kemerdekaan Indonesia yang ke 74. Tak terasa, bangsa kita sudah merdeka selama 74 tahun.
Tercapainya kemerdekaan tersebut tak lepas dari perjuangan bapak bangsa kita. Khususnya Sang Bapak Proklamator, Pemimpin Besar Revolusi Ir. Sukarno.
Maka, tidak heran jika Beliau begitu menjunjung tinggi kemerdekaan. Begitu tingginya, sampai Beliau membuat pernyataan berikut pada pidato HUT Proklamasi Kemerdekaan 1963 (Mardani dalam merdeka.com, 2019):
"Lebih baik makan gaplek tapi merdeka, daripada makan bistik tapi dijajah."
Artinya, lebih baik kita menjadi bangsa miskin yang merdeka/berdaulat dibandingkan menjadi bangsa yang makmur namun dijajah oleh antek NEKOLIM. Alias perusahaan-perusahaan multinasional, bantuan kredit dari IMF-WBG, dan sistem ekonomi kapitalisme liberal itu sendiri. Sebagai seorang sosialis, Bung Karno sangat yakin bahwa kapitalisme menimbulkan eksploitasi terhadap rakyat banyak.
Tetapi, apakah dogma ini masih berlaku di abad ke 21? Tentu saja tidak. Kemerdekaan politik saja tidak cukup untuk pembangunan bangsa. Harus ada kemakmuran ekonomi yang mengiringinya.
Jika tidak, rakyat banyak tidak akan pernah menikmati buah dari kemerdekaan. Akhirnya, kemerdekaan itu akan menjadi tong kosong. Propaganda yang nyaring bunyinya.
Lihat saja Venezuela sekarang. Ia menjadi sebuah negara gagal dengan masalah yang kompleks. Mulai dari hiperinflasi sampai kriminalitas yang merajalela.
Hal ini terjadi karena kebijakan dinasti sosialis Chavista yang berkuasa sejak 1998. Mereka menjadikan perekonomian yang merdeka dari pengaruh NEKOLIM sebagai tujuan. Untuk mencapainya, para Chavistas melaksanakan bunuh diri ekonomi.
Mereka menasionalisasi sebagian besar sektor privat dalam perekonomian. Bisnis yang dinasionalisasi ini (terutama perusahaan minyak) menghasilkan pendapatan yang besar.