Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

Proteksionisme Dagang adalah Kebodohan Ekonomi

Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://focoeconomico.org/

Perekonomian dunia saat ini sedang dilanda demam. Sebuah demam yang populer di antara orang-orang yang dirugikan oleh globalisasi. Popularitasnya dimanfaatkan oleh politisi-politisi populis untuk menggapai kekuasaan di berbagai demokrasi. Mulai dari Trump di Amerika Serikat sampai Modi di India.

Apa demam tersebut? Demam itu adalah proteksionisme. Ia adalah kebijakan pemerintah yang membatasi perdagangan internasional demi keuntungan perekonomian domestik (Investopedia.com, 2019). Keuntungan itu terwujud dalam harga barang impor yang lebih mahal karena tarif, bea, dan lain sebagainya. Dampaknya, produk domestik memiliki harga yang kompetitif di pasar.

Ketika harga produk domestik lebih kompetitif, konsumen akan membeli lebih banyak produk domestik. Ketika permintaan produk domestik meningkat, penerimaan produsen domestik ikut meningkat. Konsekuensinya, industri domestik menerima laba yang lebih besar. Laba yang lebih besar ini adalah modal untuk ekspansi industri dalam negeri. Ekspansi inilah yang diperlukan untuk bertumbuh.

Penjelasan di atas adalah legitimasi ekonomi proteksionisme. Sekarang, para pengambil kebijakan sudah melangkah lebih jauh. Mereka memberikan sebuah legitimasi patriotis untuk proteksionisme. Artinya, proteksionisme diberlakukan sebagai wujud kecintaan terhadap bangsa dan negara.

Bagi para "proteksionis baru", proteksionisme adalah instrumen untuk mengukuhkan industri dalam negeri. Industri yang berasal dari jerih payah dan keringat anak bangsa sendiri. Ia adalah bagian dari identitas bangsa yang harus dicintai dan dijunjung tinggi. Maka, ia harus dilindungi dan diberikan prioritas dari persaingan perusahaan asing, agar bisa eksis selama mungkin.

Lebih jauh lagi, proteksionisme dipandang sebagai upaya menanamkan slogan nasionalisme dalam ekonomi. Trump menggambarkannya dalam "America First". Sukarno menggambarkannya dalam "Berdikari dalam ekonomi". Dalam bidang ekonomi, produk dalam negeri harus didahulukan dan diprioritaskan secara absolut dalam konsumsi dan kebijakan publik. No compromise.

Ketika keduanya digabung, terbentuk sebuah peluru politik yang sangat tajam. Legitimasi patriotis menjadi ujung peluru yang akan menghujam segenap hati anak bangsa. Sementara, legitimasi ekonomi menjadi rationale yang memberikan dasar pada kebijakan tersebut. Akhirnya, kelompok politik atau pemerintahan menjadi lebih populer dalam jangka pendek.

Tetapi, bagaimana dengan dampak jangka panjang? Disinilah ketika popularitas berubah menjadi petaka. Dalam jangka panjang, proteksionisme adalah kebodohan ekonomi dan tidak patriotis. Mengapa demikian?

Mari kita mulai dari keburukan ekonomi proteksionisme. Tidak perlu pengetahuan ekonomi yang tinggi-tinggi amat untuk mengetahuinya. Seperti kebijakan ekonomi lainnya, proteksionisme adalah sebuah pedang bermata dua. Masalahnya, pedang yang menusuk ke dalam jauh lebih tajam dibandingkan yang ke luar.

Pedang yang menusuk ke luar menyakiti kompetitifitas harga produk impor. Produk-produk luar dengan harga pasar lebih rendah menjadi naik karena bea, tarif, pajak, dan lain sebagainya. Dengan ini, produsen di dalam negeri diuntungkan untuk sementara waktu. Namun, konsumen dalam negeri yang menanggung kerugiannya. Mereka tidak bisa membeli produk impor dengan harga yang lebih rendah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline