Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

Mandeknya Urusan Sampah DKI Jakarta

Diperbarui: 1 Agustus 2019   12:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kompas.tv

Dalam medio terakhir ini, publik kembali dihebohkan oleh DKI Jakarta. Bukan karena gebrakan-gebrakan baru dari daerah ini. Tetapi dari masalah lama yang baunya kembali menyengat penciuman seluruh Indonesia. Apalagi gubernur DKI saat ini sering dijuluki "Gubernur Indonesia" oleh die-hard fans Beliau. Apa masalah tersebut?

Sampah. Ternyata, masalah sampah di DKI Jakarta semakin pelik. Begitu pelik sampai DPRD DKI memanggil walikota Surabaya, Tri Rismaharini untuk bertemu meminta bantuan. Klimaksnya, pertemuan ini mengungkap suatu kejanggalan yang sangat mencurigakan.

Sampah semakin menggunung. Padahal, anggaran sampah di APBD DKI sangat besar. Sampai Rp 3,7 triliun. Sementara, Kota Surabaya dengan anggaran sampah "hanya" Rp 30 miliar bisa menjadi kota besar paling bersih di Indonesia. Hal ini jelas menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi mengingat luas wilayah Surabaya yang setengah DKI Jakarta.

Tanda tanya besar ini adalah sebuah anomali.Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan anggaran sampah begitu besar, tidak mampu menyelesaikan permasalahan sampah. Ini menandakan ketidakmampuan Pemprov DKI untuk memberikan pelayanan publik yang mendasar. Akibatnya, muncul sebuah discord di antara masyarakat terhadap pemerintah sebagai agen pelayanan publik.

Mengapa anomali ini bisa terjadi? Menurut penulis, ada tiga kesalahan utama yang menyebabkan permasalahan ini. Kalau Pemprov DKI saat ini mau berbenah, niscaya masalah sampah akan jauh berkurang, bahkan tuntas.

Pertama, penggunaan anggaran sampah yang tidak efisien. Kesalahan ini tercermin dari perbandingan anggaran sampah antara DKI Jakarta dan Surabaya. Jika Jakarta memiliki efisiensi anggaran sampah yang sama, ia hanya memerlukan Rp 1,17 triliun untuk mengelola sampah dengan benar. Bayangkan, ada Rp 2,53 triliun uang publik yang bisa diselamatkan.

Inefisiensi ini mengakibatkan berbagai masalah baru. Masalah terdekat adalah kinerja PPSU yang tidak sebagus dulu. Lalu, distribusi sampah menuju TPA menjadi tidak efisien. Serta berbagai masalah lainnya. Akhirnya, operasional pengelolaan sampah secara keseluruhan menjadi tidak efisien dan tidak produktif.

Ketika anggaran operasional tidak digunakan secara produktif, dana untuk membangun berbagai fasilitas pengelolaan sampah menjadi berkurang. Dampaknya, realisasi infrastruktur pengelolaan sampah menjadi lamban seperti siput.

Sebagai perbandingan, Kota Surabaya akan mengoperasikan pembangkit listrik berbasis biomassa di November tahun ini. Pembangkit listrik ini menggunakan sampah 1500 ton/hari dan menghasilkan daya 10 MW/hari (Aulia dalam megapolitan.kompas.com, 2019). Ketika beroperasi, fasilitas ini akan memberikan nilai tambah yang tinggi bagi sampah yang dikelola pemerintah.

Bagaimana dengan DKI Jakarta? Ibukota negara kita baru merencanakannya. Wacananya, pembangkit listrik berbasis biomassa di DKI memiliki daya listrik 38 MW dan bernilai 345,8 juta dollar AS. Fasilitas pengolah sampah ini direncanakan rampung pada tahun 2022. Tertinggal tiga tahun dibanding Surabaya.

Ketertinggalan ini akan menyebabkan masalah sampah semakin parah. Belum ada infrastruktur pengelolaan sampah yang mampu memberikan nilai tambah secara masif. Bank Sampah tidak memiliki skala ekonomi yang diperlukan untuk memberikan nilai tambah tersebut. Selain itu, tidak ada outlet lain untuk memberikan nilai tambah terhadap sampah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline