Setelah tulisan berjudul Akhirnya Prabowo Menolak Jadi Kuda Tunggangan terbit, ada berbagai komentar yang masuk. Nadanya pun bermacam-macam. Ada komentar-komentar yang bernada positif. Tetapi, ada juga yang bernada negatif. Syukurlah tidak ada yang membuat penulis sampai baper.
Di antara komentar bernada negatif tersebut, ada satu yang menarik perhatian penulis. Beliau berkomentar bahwa penulis adalah seorang dengan sentimen 'kekiri-kirian'. Mengapa komentator yang terhormat ini bisa memberikan label ideologi seperti ini kepada penulis?
Untuk menjawabnya, mari kita tinjau panggung politik Indonesia sebagai negara demokrasi serta spektrum politik yang berlaku di negeri kita.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Selain itu, kita menganut asas multipartai sebagai sebuah demokrasi. Sehingga, terdapat banyak partai yang berkontestasi dalam panggung politik. Karakteristik mereka juga bermacam-macam.
Ada partai dengan kaderisasi kuat seperti PKS. Ada juga partai kecil yang idealis serta inovatif seperti PSI. Selain itu, ada juga partai dengan basis ulama yang kuat seperti PKB. Tetapi, kalau berbicara soal ukuran, ada dua partai besar yang mendominasi panggung politik.
Keduanya adalah PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Merah dan Kuning. Banteng dan Beringin. Secara retorika, perbedaan ini tidak berhenti sampai simbolisme semata. Kedua partai ini juga berbeda secara ideologi.
PDI Perjuangan memiliki sentimen sosialisme yang kuat. Mirip seperti Labor Party di Australia. Bahkan, ada sebuah gerakan kiri yang eksis di dalam partai.
Anggotanya terdiri atas politisi-politisi sosialis seperti Ribka Tjiptaning dan Budiman Sudjatmiko. Mereka memastikan bahwa retorika kiri tetap menjadi bagian dari body politic PDI-P.
Sementara, Partai Golkar memiliki sentimen teknokratik yang kuat. Mirip seperti People's Action Party di Singapura. Sebagai sebuah body politic,
Golkar selalu mengedepankan pragmatisme dan common sense dalam menyelesaikan masalah di dalam negeri. Sehingga, tidak ada attachment terhadap ideologi tertentu, kecuali Pancasila sebagai ideologi negara.
Tetapi, mengapa keduanya bisa berkoalisi? Bayangkan saja, Partai Golkar mengusung seorang Presiden yang adalah kader PDI-P. Bahkan, slogan utama partai tersebut adalah Golkar Jokowi (GoJo).