Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

Rizieq Jangan Malu Mencontoh Ahok

Diperbarui: 16 Juli 2019   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.aktual.com

Semenjak panggung politik kita ribut-ribut rekonsiliasi, sebuah isu muncul ke permukaan. Isu ini berbicara tentang seorang tokoh kontroversial. Meski kontroversial, Beliau dianggap sebagai kartu truf rekonsiliasi Jokowi-Prabowo. Menurut para pengamat, jika koar-koar terkait Beliau tidak diperhatikan, rekonsiliasi tidak akan pernah terjadi.

Ternyata, prediksi para pengamat salah. Rekonsiliasi justru terjadi secara mendadak 13 Juli kemarin. Pada kesempatan tersebut, tidak ada sama sekali pembicaraan soal tokoh satu ini.

Siapakah tokoh ini? Tak lain dan tak bukan adalah the controversial Habib Rizieq Shihab. Beliau sudah mengasingkan diri ke Mekkah, Arab Saudi sejak tahun 2017. Jadi, Beliau sudah overstay di Kerajaan Arab Saudi sejak pertengahan 2018 (kabar24.bisnis.com, 2019). Sehingga, koar-koar itu terkait dengan kepulangan Beliau ke Indonesia.

Kira-kira, salahkah bila Habib Rizieq pulang? Menurut hemat penulis tidak salah. Tetapi, Beliau harus memenuhi tiga syarat. Jika tidak, kepulangan Beliau hanya menambah kacau saja negeri kita.

Pertama, Beliau harus mengurus dulu denda overstay di Arab Saudi. Denda itu harus Beliau bayar dari kantong sendiri atau dari kantong FPI sebagai badan hukum. Mengapa? Pada tahun 2017, Beliau minggat dari negeri ini atas keputusan Beliau sendiri. Pergi juga dengan biaya sendiri. Sehingga, hal yang sama harus berlaku ketika Beliau pulang dari Arab Saudi.

Lebih lagi, denda overstay sebesar 110 juta rupiah juga bukan jumlah yang besar bagi Beliau. Bayangkan saja, Beliau sanggup mempunyai hidup yang cukup baik di Arab Saudi. Bukan hanya untuk Beliau sendiri, juga untuk keluarga intinya. Bahkan, Dubes Arab Saudi untuk Indonesia juga menyatakan bahwa, "Dia secara pribadi orang yang mampu secara finansial," (Afifiyah dalam tagar.id, 2018).

Harta Beliau di negeri ini juga memperkuat argumentasi di atas. Beliau memiliki tiga SUV mewah. Semuanya memiliki pelat nomor khusus. Mulai dari 'B 1 FPI' sampai 'B 8 FPI'. Jelas tidak murah untuk mendapatkan pelat nomor seperti itu (makassar.tribunnews.com, 2017).

Lagipula, jika Beliau enggan membayar gharamah sendiri, para anggota dan simpatisan FPI pasti mampu mengumpulkan iuran (cnnindonesia.com, 2019). Pembiayaan seperti ini jauh lebih pantas. Mengapa?

Bukan tugas pemerintah untuk membayarkan kepulangan warga negara yang mengasingkan diri voluntarily. Kalau ini terjadi, sama saja pemerintah tunduk terhadap tuntutan sebuah organisasi masyarakat (ormas). Masa pemerintah tunduk pada satu ormas tertentu? It must never happen.

Kedua, Beliau harus secara gentleman berhadapan dengan hukum. Tirulah contoh dari Basuki Tjahaja Purnama. Ketika Bareskrim Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka penistaan agama, Beliau tidak kabur atau bersembunyi. Justru, Beliau secara terang-terangan menyatakan kesiapannya untuk mengikuti semua proses hukum. Akhirnya, proses tersebut menjebloskan Beliau ke penjara.

Semestinya, Beliau meniru contoh ini. Apalagi Beliau dianggap sebagai tokoh besar oleh segenap simpatisannya. Ketika tiba di Indonesia, segera ikuti proses hukum yang menahun tertunda. Mulai dari kasus pornografi dengan Firza Husein, ujaran kebencian 'campur racun', sampai penistaan ideologi negara 'Pancasila Sukarno ketuhanan di pantat'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline