Hari ini, jagat maya kembali dihebohkan oleh sebuah kabar dari keluarga Audrey Yu Jia Hui. Ternyata, keluarga mengklarifikasi bahwa caption pemberitaan Audrey Yu adalah hoax. Putri kelahiran Surabaya itu tidak bekerja di NASA atau bertemu Presiden Jokowi di G-20. Ia juga tidak diminta oleh Presiden untuk bekerja di BPPT. Hati penulis mengatakan, "Sayang ya," saat mendengar kabar ini.
Sayang karena ternyata pemberitaan bernada positif ini tidak benar. Sayang juga ada pihak yang menyebarkan hoax yang sudah begitu meracuni media sosial kita. Tetapi, kabar ini juga kembali menyadarkan penulis akan sebuah penyakit. Penyakit yang sudah lama menjangkiti negara kita. Bahkan berbagai upaya rezim ini belum menyembuhkannya secara total.
Apa penyakit itu? Ia bernama Brain Drain. Istilah ini adalah sebuah slang yang menggambarkan emigrasi skala besar dari penduduk terdidik/professional di suatu negara (merriam-webster.com, 2019). Umumnya, mereka melakukan emigrasi untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Khususnya di negara-negara maju yang lebih menghargai talenta mereka secara finansial.
Mengapa bisa demikian? Negara-negara maju memiliki perekonomian yang padat modal. Padat modal disini tidak hanya financial capital intensive. Tapi juga human capital intensive. Perusahaan-perusahaan mereka bersaing sengit untuk mendapatkan the most brilliant mind for the business. Mulai dengan tinggi-tinggian gaji pokok sampai menawarkan jaminan hidup yang menyeluruh.
Melihat penjelasan di atas, kita bisa mengetahui mengapa Indonesia mengalami Brain Drain. Indonesia mengalami penyakit ini karena kerangka kerja perekonomiannya belum capital-intensive. Ia belum memberikan ruang yang cukup bagi individu terdidik untuk memaksimalkan talenta mereka. Khususnya, memaksimalkan talenta mereka untuk keuntungan ekonomi pribadi.
"Isn't your research marvelous? Isn't your inventive genius terrific? And I say, aren't your profits good?" Tandas Margaret Thatcher saat membuka suatu pameran teknologi. Pernyataan ini menekankan suatu hal yang selama ini banyak kita lupakan. Percuma saja suatu negara mempunyai sosok-sosok inovatif dan terdidik, kalau mereka tidak mampu memeroleh keuntungan dari inovasi tersebut.
Maka dari itu, perekonomian Indonesia harus segera berbenah. Perekonomian kita perlu menyesuaikan diri untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi para inovator. Ini perlu dilakukan, agar manusia-manusia Indonesia yang inovatif bisa bertumbuh di negaranya sendiri. Tidak lagi diambil oleh negara-negara lain dan menciptakan Brain Drain.
Bagaimana cara membenahinya? Pertama, pemerintah harus membuat satu agensi khusus untuk mempercepat waktu pembukaan bisnis. Kedua, para penegak hukum harus lebih serius dalam menangani plagiarisme dalam dunia bisnis. Ketiga, pemerintah harus melakukan lelang jabatan dalam membentuk Lembaga Pengelola Dana Riset.
Mari kita mulai dari usulan pertama. Bisnis adalah satu wadah di mana para inovator menyebarkan inovasinya kepada masyarakat. Semakin mudah membuka bisnis di suatu negara, semakin banyak pula inovator yang muncul ke muka. Masalahnya, membuka bisnis di Indonesia bukanlah proses yang mudah. Butuh 10 prosedur dengan waktu 20 hari (doingbusiness.org, 2019).
Sepuluh prosedur ini melibatkan tujuh agensi. Mulai dari notaris sampai Kementerian Hukum dan HAM. Ini jelas terlalu rumit, lama, dan tidak efisien. Proses ini harus dirombak total. Cukup satu lembaga saja yang mengurusi pembukaan bisnis. Lembaga ini harus beroperasi secara online untuk mempermudah pendaftaran bisnis. Seperti Companies Office di New Zealand atau ACRA di Singapura.
Ketika proses membuka bisnis semakin singkat dan mudah, akan semakin banyak bisnis yang bermunculan. Termasuk start up yang ingin menciptakan disrupsi dalam perekonomian. Mereka pasti memerlukan para inovator untuk menciptakan produk maupun jasa yang inovatif bagi konsumen. Sehingga, fenomena Brain Drain bisa diminimalisir.