Indonesia adalah sebuah negara agraris. Ini adalah sebuah potensi yang tidak bisa kita pungkiri. Bayangkan saja, terdapat 7,1 juta hektar lahan pertanian di Indonesia (BPS dalam cnnindonesia.com, 2018). Dengan lahan seluas ini, pembaca pasti mengira bahwa jumlah petani di Indonesia terus bertambah dari waktu ke waktu.
Kenyataannya? Jumlah petani di Indonesia sedang mengalami penurunan. BPS (dalam antaranews.com, 2018) mencatat bahwa terdapat 35,7 juta petani di Indonesia atau 28,79% dari penduduk yang bekerja. Ini lebih rendah dibanding tahun 2017, di mana terdapat 35,9 juta petani di Indonesia atau 29,68% dari penduduk yang bekerja.
Apa artinya? Terjadi pengurangan insentif bagi angkatan kerja untuk bekerja di sektor pertanian. Mengapa? Sebab mereka melihat ayah atau saudara mereka memiliki penghasilan yang tidak layak sebagai petani (selengkapnya bisa dilihat di tulisan ini). Sehingga, mereka pun memilih untuk bekerja di sektor ekonomi lain dengan penghasilan yang lebih besar.
Penghasilan petani yang underpaid ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah struktur kepemilikan lahan yang timpang. Pada tulisan sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa petani penggarap memiliki penghasilan yang jauh lebih rendah dibanding petani pemilik lahan. Masalahnya, mayoritas petani di Indonesia adalah petani penggarap (CIPS, 2019:1).
Salah satu bukti pernyataan ini ada di Kota Cimahi, Jawa Barat. Dispangtan Kota Cimahi (dalam Kamaludin, 2019) menyatakan bahwa terdapat 383 orang petani di Kota Cimahi. Dari jumlah tersebut, 90% merupakan petani penggarap. Mereka menggarap lahan pertanian yang kebanyakan dimiliki oleh orang di luar Cimahi.
Lalu, apa yang terjadi jika kebanyakan petani di Indonesia hanya petani penggarap? Pertama, mayoritas keuntungan hasil panen jatuh ke tangan pemilik lahan. Padahal, hampir seluruh pekerjaan menanam dilakukan oleh petani. Kedua, petani tidak memiliki akses permodalan yang cukup. Mereka tidak memiliki aset yang bisa dijadikan agunan untuk memperoleh permodalan.
Akhirnya, kedua dampak ini berujung pada stagnansi produktivitas pertanian. Petani tidak memiliki insentif lebih untuk memaksimalkan keuntungan. After all, mayoritas keuntungan tersebut mengalir kepada pemilik lahan. Selain itu, petani juga tidak mampu mengakses modal untuk mengadakan peningkatan kapasitas usaha. Meminjam catchphrase dari Bernie Sanders; We're doomed.
Maka dari itu, kita harus memutarbalikkan arus ini. Make the earner become the owner of his factors of production. Buat petani penggarap menjadi pemilik dari lahan yang ia garap. Dengan kata lain, jadikan mereka petani pemilik lahan melalui reforma agraria (land reform).
Apa itu reforma agraria? Reforma agraria adalah sebuah upaya yang disengaja untuk mengubah struktur kepemilikan lahan, cara penanaman, atau hubungan sektor pertanian dengan perekonomian secara makro (Britannica.com, 2019). Definisi ini sudah mengatur langkah mana dulu yang harus dilakukan; Mengubah komposisi kepemilikan lahan.
Dalam kasus Indonesia, yang perlu kita lakukan adalah memperluas kepemilikan lahan. Kita harus memindahkan kepemilikan lahan, dari sebagian kecil tuan tanah menuju sebagian besar petani penggarap. Terkesan sosialis-komunis sekali ya? Mungkin pembaca berpikir demikian. Padahal, banyak negara demokrasi-kapitalis yang melakukan reforma agraria
Ada dua jenis/model reforma agraria yang dikenal secara umum. Pertama, reforma agraria model negara-negara komunis. Kedua, reforma agraria model negara-negara demokratik-kapitalis, yang banyak dilakukan di Asia Timur.