Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

Implementasi Revolusi Pangan 4.0 untuk Memakmurkan Rakyat

Diperbarui: 15 Juni 2019   07:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: pioneer.com

Pada tulisan sebelumnya, kita sudah membahas mengapa Revolusi Pangan 4.0 penting untuk diterapkan. Tetapi, ada beberapa pertanyaan penting yang belum kita jawab. Apa tujuan revolusi ini? Bagaimana bentuk kebijakannya? Bagaimana dampak kebijakannya? 

Mari kita mulai dari tujuan Revolusi Pangan 4.0. Ada tiga tujuan utama dari revolusi ini. Pertama, menurunkan harga bahan pangan bagi konsumen. Kedua, meningkatkan insentif bagi petani untuk mendorong produktivitas lahan. Ketiga, mendorong peran konsumen dan petani dalam pengelolaan pangan di Indonesia. 

Untuk menurunkan harga bahan pangan, hanya ada dua alternatif yang bisa dilakukan; Mengurangi permintaan atau meningkatkan penawaran. Mengurangi permintaan adalah hal yang sangat sulit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia. Mengapa? Setiap tahun, 4,8 juta bayi lahir di Indonesia (koran-jakarta.com, 2017). Artinya, semakin banyak manusia yang memerlukan makanan. 

Mengurangi permintaan sama saja dengan mengurangi jumlah konsumen dan intensitas konsumsi. Upaya ini seperti memasukkan unta ke lubang jarum; Tidak mungkin dilakukan. Kecuali jika kita dipimpin oleh Thanos, yang dapat memusnahkan setengah populasi makhluk hidup dalam satu jentikkan jari. 

Tentu kita tidak mau fiksi Marvel seperti itu menjadi kenyataan. Maka, satu-satunya cara adalah dengan meningkatkan penawaran bahan pangan. Peningkatan ini harus bersifat berkelanjutan dan riil, agar mampu mengimbangi peningkatan konsumsi. Sehingga, penurunan harga terjadi karena meningkatnya jumlah bahan pangan yang tersedia di pasar bagi konsumen. 

Untuk meningkatkan kuantitas penawaran bahan pangan, kita perlu mengubah dan meningkatkan insentif bagi petani. Tulisan sebelumnya sudah membuktikan bahwa subsidi adalah "insentif" gaya lama yang tidak memberikan outcome yang semestinya. Petani pun tidak terbantu olehnya. 

Mengapa? Hanya 5,7% dari bibit padi subsidi pemerintah yang diserap oleh petani di lapangan. Padahal, pemerintah sudah menggelontorkan lebih dari Rp 30 Triliun untuk subsidi bibit dan pupuk (CIPS, 2019:2). Ini sama saja dengan pemborosan uang para pembayar pajak. 

Maka dari itu, harus ada perubahan model insentif bagi para petani. Insentif ini harus mendorong petani untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Sehingga, pendapatan petani dan ketersediaan bahan pangan di pasar meningkat. Akhirnya, efek ini menciptakan downward pressure bagi harga pangan di pasar. 

Dengan dihapusnya subsidi, maka produsen dan konsumen tidak lagi membayar untuk kebijakan pangan yang menciptakan misalokasi sumber daya. Selain itu, pemerintah juga mengurangi lingkup peranannya dalam perdagangan pangan. Sehingga, sektor swasta bisa mengambil lingkup peranan yang lebih luas dalam perdagangan pangan. 

Meningkatnya peranan sektor swasta memperkuat peran mekanisme pasar dalam perdagangan pangan. It unleashes the power of the market. Harga benar-benar menjadi sinyal dan indikator dari semua tindakan petani dan konsumen. Tetapi, market forces dan market discipline adalah dua sisi mata uang, di mana petani dan konsumen juga dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan bertindak rasional. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline