Selasa, 2 Juni 1953. Pagi itu hujan rintik-rintik di Kota London. Tetapi, semangat rakyat Inggris tidak goyah. Mereka tetap bertahan di pinggir jalan protokol menuju Westminster Abbey. Tiadagentar mereka menanti, sampai Gold State Coach itu lewat, membawa ratu baru mereka, Elizabeth II untuk dinobatkan.
66 tahun berlalu sejak upacara penobatan tersebut. Tetapi Elizabeth II masih menjabat sebagai Ratu. Beliau bukan hanya seorang ratu bagi United Kingdom. Beliau juga menjadi ratu bagi 16 negara, kepala bagi Asosiasi Negara Persemakmuran (Commonwealth of Nations), pelindung bagi berbagai organisasi nirlaba, dan banyak peran lainnya.
Kini, Beliau adalah monarch dengan masa jabatan terlama sepanjang sejarah Inggris. Bayangkan, Beliau sudah mengabdi bagi negaranya dan dunia sejak kakek-nenek penulis masih remaja. Sekarang, penulis sudah berusia 18 tahun, and she's still The Queen.
Memang, Beliau bukan seorang kepala pemerintahan yang membuat keputusan mengenai kebijakan publik. Beliau tidak membuat keputusan apakah pajak harus dinaikkan, belanja publik harus diturunkan, atau Inggris harus keluar dari Uni Eropa. Itu adalah tugas dari Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.
Tetapi, Beliau memainkan peran konstitusional penting. Beliau adalah simbol stabilitas, idealisme, dan objek patriotisme bagi Britons. Pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri adalah pemerintahannya (Her Majesty's Government). Parlemen yang terpilih adalah parlemennya (Her Majesty's Parliament). Bersama Perdana Menteri, Beliau adalah pemimpinyang menjamin unwritten constitution Inggris berjalan lancar dan efektif.
Tanpa kualitas kepemimpinan yang istimewa, Beliau tidak mungkin mampu mengemban tugas sampai 66 tahun with such brilliance. Lantas, kualitas kepemimpinan apa saja yang bisa kita pelajari dari Beliau?
Pertama, keinginan self-learning yang kuat. Ketika Beliau mewarisi tahta kerajaan, usianya baru 27 tahun. Selain itu, Beliau tidak menerima pendidikan formal sama sekali. Pendidikan Beliau terbatas pada homeschooling yang diberikan sampai usia 17 tahun.
"In a way, I didn't have an apprenticeship. My father died much too young, and so it was kind of taking on," tandas Beliau dalam dokumenter Elizabeth R: A Year in the Life of The Queen pada tahun 1992.
Tetapi, Beliau tidak menyerah. Dua sosok utama dijadikan mentor oleh Beliau; Elizabeth Bowes-Lyon, sang Ibu Suri dan Winston Churchill, Perdana Menteri pertamanya. Dari merekalah Beliau belajar bagaimana sebuah monarki konstitusional bekerja. Selain itu, Beliau juga belajar dari pengalaman yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.
Inilah yang membuat Beliau menjadi a voice of experience bagi setiap Perdana Menteri yang bekerja dengannya.