Sebuah polemik literasi sedang terjadi pada masyarakat kita. Apa polemik tersebut? Polemik pelarangan buku-buku kiri. Topik kontroversial ini menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Tetapi, polemik ini mencerminkan satu hal; bangsa ini masih belum sembuh dari traumanya pasca peristiwa G30S PKI.
Apa buktinya? Tiga hari yang lalu, terjadi razia terhadap buku-buku yang dianggap berpaham kiri di Padang, Sumatera Barat dan Kediri, Jawa Timur. Razia ini dilakukan oleh aparat TNI dan Polri sebagai penegak hukum (Teguh dalam Tirto.id, 2019). Sehingga, ini menunjukkan bahwa "Kiri" masih dan selalu disamakan dengan "Komunis" pada masyarakat kita.
Padahal, keduanya adalah hal yang sama sekali berbeda. Komunisme adalah bagian dari ideologi kiri, dan tidak semua ideologi kiri itu komunis. Ada Social Democracy, Luxembourgism, Fabianism, Democratic Socialism, dan berbagai ideologi lainnya. Cakupan istilah "Kiri" itu sendiri begitu lebar, sampai muncul kritik sayap kiri terhadap Komunisme.
Jadi, pantaskah melarang buku-buku kiri? Tidak pantas, sama sekali tidak! Mengapa? Pertama, pelarangan ini jelas menciderai UUD 1945 dan Pancasila. Kedua, upaya pelarangan ini sama saja dengan mencederai cita-cita reformasi. Ketiga, Perang Dingin sudah berakhir, dan metode ini sudah ketinggalan zaman untuk mengalahkan ideologi kiri. Keempat, ada cara-cara yang jauh lebih efektif untuk mengalahkan ideologi kiri dalam Perang Ide disrupted.
Penulis akan menjelaskan masing-masing alasan ini satu per satu, untuk mengemukakan argumentasi utama yang sudah penulis nyatakan dengan jelas di atas.
Alasan pertama, menciderai UUD 1945 dan Pancasila. Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 jelas menyatakan bahwa, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang."
Sehingga, kebebasan individu untuk mengemukakan pemikirannya melalui tulisan dijamin secara legal dalam undang-undang (UU). Entah pemikiran tersebut kanan ataupun kiri, kebebasan individu untuk mengemukakan pemikiran tersebut sah dijamin oleh UU.
Sementara, Pancasila sebagai ideologi terbuka kita memiliki sila kelima yang berbunyi, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Ide keadilan sosial ini tidak berasal dari kaum kanan. Justru, kaum kirilah yang mencetuskan harus adanya keadilan sosial sebagai syarat civil society. Keadilan adalah syarat penting untuk mewujudkan masyarakat yang beradab.
Fakta sejarah ini tidak bisa dipungkiri. Bapak Bangsa kita juga dipengaruhi oleh pemikiran kiri saat menggodok Pancasila dan UUD 1945.
Bahkan, Gusdur sempat berkata bahwa UUD 1945 banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx dalam buku Das Kapital (Hartono dalam berdikarionline.com, 2013). Ini dibuktikan dengan isi Pasal 33 Ayat 2 dan 3, yang menekankan perlunya penguasaan negara atas sektor-sektor ekonomi yang mendominasi kehidupan masyarakat alias statism.
Alasan kedua, cita-cita reformasi terciderai dengan razia seperti ini. Salah satu cita-cita reformasi adalah menciptakan ruang publik yang bebas dan terbuka. Adanya razia buku "kiri" seperti ini sama saja dengan menutup ruang publik bagi orang-orang tertentu hanya karena pemikiran yang "salah" di mata negara. Akhirnya, negara pun menjadi "wasit" yang tidak netral dalam ruang publik.